Pageviews
Popular Posts
-
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan da...
-
Saya Siti Aisyah yang ketika lahir hingga masuk sekolah dasar dengan nama di Akta Kelahiran hanya 1 kata yaitu “Aisyah”. Nama te...
-
Produktif, ga mau diem, pecicilan atau apapun itu istilahnya untuk menggambarkan kalau saya ga bisa berdiam diri di kosan, hingga liburan s...
-
Senja hari menjelang matahari kembali pada peraduannya, saya duduk di sebuah kursi taman. Rindangnya pepohonan membuat sejuk kota dengan...
-
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti arti kerinduan. Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti a...
-
30 Agustus 2015, pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip diantara sebuah kalimat paling sak...
-
Manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang menentukan. Sepandai-pandainya manusia membuat rencana, rencana Allah jauh lebih indah. Re...
-
Lanjutan part 1 ... Setalah pilihan ditentukan, kini saatnya bagi saya untuk fokus menggapai impian. Semua akan tercapai jika kita mampu...
-
Indonesia di “ elu-elu”- kan sebagai negara komsumtif tertinggi dan menjadikan masyarakatnya ketergantungan akan sesuatu. Ya, tidak dipungk...
-
Merangkai serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna. Bukanlah sebuah perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perju...
About
About Me
Search Me
Sunday, 14 February 2016
30 Agustus 2015,
pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip
diantara sebuah kalimat paling sakral dalam suatu moment pernikahan.
Ya, sebuah moment
ijab qabul yang diucapkan oleh calon suami saya. Moment dimana seorang wanita
pun merasakan perasaan berdebar yang teramat sangat disaat detik-detik ijab
qabul hendak terucap.
Perasaan lega
terhempas saat para saksi berucap kata ‘sah’ secara serentak. Alhamdulillah…
Rasanya saat itu
yang terngiang hanyalah lagu “Barakallahu
lakuma” milik Maher Zain sebagai soundtrack
yang mengantarkan perjalanan saya dari tempat persembunyian pengantin wanita ke
hadapan suami saya, yang menantikan genggaman tangan saat halal tersemat untuk kami berdua.
Aisyah dan Tri Cahyo, 30 Agustus 2015
Kami merupakan
pasangan suami istri yang menikah bukan karena pacaran bertahun-tahun, kami
hanyalah pasangan yang saling mengenal karena seorang perantara. Kami bukanlah
teman sekampus, bukan teman sekantor, bukan teman sesama komunitas, bukan pula teman
ketemu di jalan.
Saya sempat
berpikir bahwa diperkenalkan oleh seseorang
bukanlah bagian dari pilihan saya dalam menentukan pasangan. Awalnya saya lebih
memilih untuk berjumpa dengan sendirinya siapa pasangan yang tepat untuk saya
nantinya. Ternyata saya keliru, dan amat benar adanya bahwa jodoh ditangan Allah, jika Allah
menghendaki pertemuan jodoh kita melalui perantara makhluk-Nya, mungkin disinilah
jalannya. Sebuah skenario yang Tuhan persiapkan untuk umatnya dengan berbagai
cara yang tak pernah kita sangka. Manusia hanya bisa berupaya dengan berusaha
dan berdoa. Sekuat apapun upaya kita berusaha mencari sendiri jodoh tersebut,
jika jodoh itu datang dari sisi teman terdekat, siapa yang dapat mengira? :)
Pertemuan kami
cukup singkat, hanya butuh waktu 4 bulan setelah berkenalan menuju fase lamaran.
Ketika kesiapan sudah di depan mata, apalagi yang kita harapkan kalau bukan
sebuah kepastian? Kesiapan yang dimaksud pun bukan dalam bentuk sebuah materi
melainkan kesiapan hati terhadap keseriusan suatu hubungan. Kami memiliki pemikiran
yang sama untuk berjalan menuju ke jenjang pernikahan.
Percayalah, jika
kita meminta langsung pada Sang Pemilik Hati untuk menetapkan pilihan kita ke
arah yang lebih serius dan sakral. Tak akan pernah ada alasan “mengapa”.
Karena
pernikahan pada hakikatnya merupakan suatu ibadah dan sunah, walaupun level
ilmu saya masih rendah. Namun sebuah prinsip yang mengantarkan saya hingga ke
fase ini.
Aisyah, 30 Agustus 2015
***
Saya memiliki
sebuah pemikiran yang lain, yang lagi-lagi terpatahkan. Saya pernah beranggapan
bahwa untuk mendapatkan sebuah dukungan dari pasangan terhadap apapun yang kita
cita-cita kan, kita harus memilih pasangan yang memiliki orientasi yang sama,
sehingga kita bisa sama-sama menempuh sebuah jalan yang sama pula. Saya
berpikir, jika ingin mendapatkan sebuah dukungan terhadap passion saya di bidang akademisi, maka saya harus mencari pasangan
yang memiliki orientasi yang sama, di bidang akademisi pula. Pemikiran ini
muncul karena sebuah pengalaman tentunya.
Namun, pemikiran
di atas bukanlah satu-satunya pilihan yang mutlak. Sampai saya berjumpa dengan
sosok pria yang satu ini, sosok seorang suami yang tidak memiliki kesamaan passion dengan saya. Namun dukungan
tersebut saya dapatkan secara penuh.
Kami merupakan
dua orang yang berbeda baik secara karakter, kegemaran dan passion kerja masa depan. Tapi siapa sangka perbedaan tersebut
ternyata bisa menjadi suatu pelengkap diantara kami berdua. Perbedaan pula yang
menjadikan kami merasa serupa.
Suami saya
dikaruniai otak kanan yang dominan, sedangkan saya sebaliknya, otak kiri saya
berperan penuh terhadap kinerja saya dalam keseharian. Saya bersyukur, kami
berdua dikaruniai oleh Tuhan untuk saling mendukung dan memahami satu sama
lain.
Passion saya dibidang akademik, suka belajar dan
mengajar. Tapi sebaliknya, suami saya tidak terlalu betah belajar di kelas, dia
tipe orang yang kreatif, bukan tipe yang terpaku ke dalam sebuah aturan
akademik. Namun satu hal yang saya syukuri, dia menghargai kegemaran saya, dia
mengerti bahwa akademisi bagian dari diri saya. Dia mendukung sepenuhnya apapun
yang saya inginkan untuk mengembangkan karir saya di bidang akademisi.
Ridho-nya yang
saya harapkan dan saya syukuri di saat kami harus melakukan hubungan pernikahan
jarak jauh antara Semarang dan Jepang dikarenakan saya harus menempuh
perjalanan belajar hingga ke Negeri Sakura. Atau bahkan perjalanan belajar yang
harus meninggalkan kota Semarang berkali-kali. Namun, dibalik itu semua,
sekembalinya kami untuk berjumpa, menyimpan banyak rindu yang kami rasakan
seperti awal jumpa, seperti pasangan yang baru pertama kali kenal namun ber-sertifikat halal yang bebas
mengekspresikan rindu kami dengan sebuah kecupan kening yang diberikan. Indah
bukan yang namanya pacaran setelah
menikah? Hihihi.
Aisyah dan Tri Cahyo at Studio Foto
***
Usia kami
terpaut 7 tahun, saya menikah di usia 24 tahun dengan seorang pria kelahiran 1984.
Darinya saya menemukan figur pria dewasa yang mengayomi, penuh kasih sayang
sebagai pria yang terlahir sebagai anak terakhir dari sebuah keluarga, dan
berjumpa dengan seorang putri pertama yang terlahir dengan tanggung jawab yang
besar sebagai seorang kakak. Saling melengkapi dari berbagai macam sifat dan
sikap atas kekurangan yang kami miliki.
***
Random-nya sebuah percakapan yang kami lakukan
membuat waktu terasa cepat berlalu, hingga membuat tatapan mata dunia nyata
jauh lebih berharga daripada dunia maya. Itulah sebabnya sampai detik ini,
jarang sekali bagi saya dan suami untuk menunjukan pada dunia mengenai cerita
cinta kami. Cinta kami tak terhalang oleh henpon.
***
Suami saya
terlahir dengan jiwa seni yang tinggi, besar dalam balutan sebuah kelompok band
lokal sebagai seorang vokalis yang pandai memetik gitar. Namun saya sebaliknya,
tak ada satu pun alat musik yang dapat saya mainkan, peran saya sebagai
penikmat musik dengan mendengarkan suami bersenandung dan bernyanyi dengan
gitar andalannya adalah hobi baru yang menyenangkan bagi saya.
Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon Semarang
Kegemaran lainnya
yang dimiliki suami saya adalah kelihaian membidik sebuah kamera sebagai
photographer dan dilengkapi oleh hobi saya sebagai seorang “model amatir”
membuat kami membuktikan bahwa untuk
bersama tidak harus sama. Hobi bisa saja berbeda, tapi dukungan untuk
saling berkembang adalah yang utama.
Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon, Semarang
“Manusia selamanya tidak akan sempurna, kemunculan
cinta yang berasal dari hati yang dapat memberikan kesempurnaan.” _Aisyah_
Semarang, 12
Februari 2016
Siti Aisyah dan Tri Cahyo
Monday, 28 December 2015
Merangkai
serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna.
Bukanlah sebuah
perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perjuangan selama ini menjadi
nyata.
Dua tahun silam,
ketika perjuangan untuk menggapai golden tiket berupa score TOEFL dan
peningkatan bahasa menjadikan buku sebagai teman tak terpisahkan.
Teringat
perjalanan panjang dari Pandeglang – Banten menuju Kediri – Jawa Timur demi
mengumpulkan setiap puing impian.
Menekuni setiap
inci grammar, tenses, pronounce dan semua kawan-kawannya demi sebuah pencapaian.
Sampai akhirnya
tes demi tes dilakukan, teringat tes TOEFL saat di Jakarta, Semarang, Kediri
bahkan hingga Malang. Sekali lagi, hanya untuk menggapai sebuah mimpi.
Ketika akhirnya
berbagai perjuangan terbalaskan dengan sebuah hasil yang memuaskan. Yeay!!
Hampir melewati perubahan tahun dan TOEFL
pun berhasil dicapai.
One step closer.
***
Baru satu tahap,
puing-puing puzzle mimpi belumlah
sempurna.
Kembali teringat
perjuangan memperoleh beasiswa sebagai salah satu cara untuk merealisasikan
mimpi. Pun tidak mudah dalam proses fase setiap langkah untuk memperjuangkannya.
Mencoba dan
menekuni cara untuk bisa mendapatkan beasiswa. Mempersiapkan setiap detail yang
akhirnya mengantarkan saya hingga lolos seleksi administrasi, wawancara hingga Leaderless Group Discussion (LGD) dan
menjadikan saya LPDP Awardee.
Sekali lagi. Selalu
ada perjuangan untuk setiap tahap pencapaian.
Proses yang
dilalui sangatlah panjang, butuh kesabaran, ketekunan dan kegigihan.
Mimpi semakin
dekat.
***
Jepang
Selalu punya daya
tarik, sebagai negara maju akan teknologi menjadi magnet tersendiri bagi saya
untuk bisa pergi dan memetik ilmu di sana.
Impian untuk bisa
ke negeri sakura menjadikan saya berupaya keras untuk bisa merealisasikannya.
Tahap selanjutnya,
setelah menggapai bahasa dan beasiswa, yang harus saya lakukan adalah
berkomunikasi dengan calon pembimbing di Jepang.
Berawal dari
sebuah email yang saya hantarkan kepada calon pembimbing, berupa prolog
perkenalan dan tujuan saya nantinya, dengan dinamika komunikasi yang beragam.
Waktu demi waktu
terlewati, komunikasi terus berjalan untuk bisa mendapatkan sebuah “Invitation Letter”. Dan Tuhan Maha Penyempurna
skenario untuk hambanya yang berupaya.
Alhamdulillah, Invitation
Letter sudah saya terima.
Paspor, visa dan
tiket menjadi gerbang utama menuju mimpi yang nyata. Nyata dan benar-benar
nyata.
***
Keberangkatan
Deg-degan..Hal yang pertama kali saya
rasakan. Berangkat sendiri dan untuk pertama kalinya ke luar negeri. Perjalanan
yang harus ditempuh kurang lebih 10 jam dalam pesawat. Ke sebuah negeri yang
belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Benar-benar deg-deg-an.
Tiba di Negeri
Sakura dengan selamat dan aman berkat bantuan salah satu kawan Jepang yang
sangat baik dan penuh totalitas. Tidak akan pernah saya lupakan. Yuki-san :D
***
Perjuangan
kembali dimulai…
Tema penelitian
saya cukup kompleks, membutuhkan 3 laboratorium untuk analisis data,
diantaranya: Remote Sensing, Bioteknologi dan Radiocarbon Dating. Sebelum
berangkat ke Jepang, saya hanya
berkomunikasi dan memastikan salah satu diantara tiga laboratorium yang saya
butuhkan, yaitu Remote Sensing Laboratory
di Josaphat Microwave Remote Sensing
Laboratory, Center for Environmental
Remote Sensing- Chiba University, dibawah naungan seorang professor yang
menjadi pembimbing saya selama di Jepang. Sedangkan, dua laboratorium lainnya
(Bioteknologi dan Radiocarbon Dating) hanya dipastikan melalui explore website bahwa di Universitas
yang saya tuju terdapat laboratorium tersebut. Karena jika ketiga laboratorium
saya hubungi satu persatu (sebelum berangkat) maka akan membutuhkan waktu yang
sangat lama, sedangkan penelitian harus segera berjalan, show must go on.
Bertindak dan bergerak jauh lebih baik daripada
menunggu. Sehingga keputusan ini yang saya lakukan untuk tetap berangkat ke
Jepang walaupun baru fix 1 laboratorium.
***
Remote
Sensing Laboratory
Hangat,
kesan pertama kali yang saya terima saat tiba di laboratorium ini. Sangat welcome dan penuh nuansa kekeluargaan.
Kumpulan mahasiswa yang terdiri dari berbagai negara: Indonesia, Jepang, Korea
Selatan, Malaysia dan Mongolia, berbaur menjadi satu dalam sebuah ruang kerja
yang kami sebut sebagai laboratorium. Tidak ada pembatas generasi S1, S2 atau
S3. Semua bersama-sama belajar, tidak ada batas senioritas. Bersatu bersama,
layaknya keluarga.
Banyak hal baru
yang saya peroleh disini, semua mahasiswa bekerja dengan sangat giat,
memberikan energi positif untuk kita terus belajar dan berjuang.
Mengikuti
berbagai kegiatan seminar manjadi bonus tersendiri bagi saya. Melihat
perkembangan terknologi radar dan satelit yang selama ini hanya saya pelajari
melalui aplikasi remote sensing saja. Namun disini, saya melihat orang-orang yang
berjuang dan membuat sesuatu hal yang baru.
Belajar ilmu baru,
berdiskusi dengan pembimbing dan teman-teman di laboratorium. Untuk kali
pertama bagi saya, belajar dan berkegiatan dari pagi hingga pagi lagi, ya hanya
disini, di Jepang.
Welcome Dinner with Professor Josaphat and
Laboratory-mate from South Korea at Nishi Chiba – Japan
Credit: Media sosial Josaphat Sensei
***
Biotechnology
Laboratory
Disamping
penelitian di Remote Sensing Laboratory,
saya terus berusaha untuk mendapatkan laboratorium lain yang dibutuhkan.
Berdiskusi dengan pembimbing (dari remote
sensing laboratory) dan senpai
untuk mencari cara agar bisa melakukan analisis di biotechnology laboratory. Setelah menghubungi langsung profesor
terkait biotechnology melalui email
dan telepon namun tidak ada jawaban karena berbagai hal. Kemudian pilihan
terbaik adalah mengunjungi beliau langsung di laboratorium atau ruang kerjanya.
Waktu dan moment
yang tepat, Profesor yang saya tuju berada di ruangan dan sangat welcome sekali ketika kedatangan
mahasiswa lain yang ingin melakukan analisis disini. Setelah berdiskusi cukup
panjang, sang profesor memberikan saya jadwal untuk mempresentasikan penelitian
saya di hadapannya. Setelah waktu yang ditentukan tiba, saya mengunjungi beliau
untuk melakukan diskusi bersama. Beliau cukup tertarik dan meminta saya untuk hadir kembali
dalam rangka presentasi di depan para dosen dan seluruh mahasiswanya.
Presentation and discussion with Sensei and all of students at Biotechnology Laboratory
Chiba University - Japan
Credit: Siti Aisyah
Setelah tahap
presentasi dan diskusi selesai, kami membuat jadwal penelitian yang akan saya
lakukan untuk analisis disini. Pendamping penelitian saya adalah mahasiswa S3
dari China, tipe mahasiswa yang benar-benar visioner, darinya saya belajar
manajemen waktu yang berbeda bahkan cara kerja yang tersusun rapi. Analisis
yang akan saya gunakan bukanlah hal yang sederhana dan membutuhkan bahan-bahan yang
tidak biasa. Sehingga tahap perencanaan
dan persiapan prosedur haruslah tepat.
Alat-alat di
laboratorium tentunya memiliki kualitas yang tinggi dari segi teknologi dan
kecanggihan. Semua alat yang dibutuhkan sudah tersedia disini. Setiap peneliti
pun memiliki posisi meja kerjanya masing-masing . Semua alat-alat tersimpan
rapi pada tempatnya. Pun bagi setiap pengguna, jika selesai menggunakan alat
tertentu harus menyimpan kembali pada tempat sebelumnya. Sama halnya dengan
kebersihan dan keamanan laboratorium yang tentunya harus dijaga dengan sangat
baik terutama kotak sampah yang berbeda untuk setiap jenis seperti tissue,
plastik, tube bekas analisis dan glove yang terkena bahan kimia berbahaya
harus dibuang secara terpisah.
Disiplin,
produktif dan cara manajemen waktu sebagai bekal pengalaman yang saya dapatkan disini selain ilmu dan pengetahuan.
Rekaman
perjalanan selama experimen di Biotechnology
Laboratory tertulis dalam buku “Research Lab Notebook by Siti Aisyah”.
Research Lab Notebook
Credit: Siti Aisyah
***
Radiocarbon
Dating Laboratory
Untuk memperoleh
laboratorium yang satu ini tidaklah mudah, total sekitar 6 laboratorium yang
saya jamah hanya untuk mencari analisis ini. Kali pertama yang saya tanya dan
tuju adalah salah satu institusi dan laboratorium di Indonesia. Namun sayang,
butuh waktu dan prosedur yang sangat panjang dan lama untuk bisa melakukan
analisis disini. Langkah berikutnya, ketika masih di Indonesia saya coba
mendapatkan informasi mengenai uji radiocarbon dating di salah satu Universitas
di Jepang, tepatnya di Okinawa, dan sekali lagi, hasil tidak sesuai harapan.
Langkah ketiga, karena
saya berkesempatan penelitian di Chiba University Jepang, maka saya coba gunakan
kesempatan ini untuk mengunjungi salah satu laboratorium di Chiba University terkait analisis ini.
setelah mengunjungi laboratorium yang saya tuju, ternyata hanya tertera untuk
uji carbon yang berbeda bukan Radiocarbon Dating.
Langkah
berikutnya, saya coba berkomunikasi dengan universitas terdekat dari Chiba,
yaitu Tokyo Institute of Technology
karena tertera departemen nuklir disana. Setelah berkomunikasi hampir 3 hari,
ternyata uji analisis radiocarbon dating tidak terdapat di universitas ini.
Perjuangan belum
berakhir, selama masih ada kesempatan, saya gunakan setiap detik waktu luang
untuk terus berusaha.
Saya searching kembali di internet mengenai
analisis radiocarbon dating di Jepang, dan memang hanya ada di beberapa lokasi
saja, seperti Nagoya, Fukushima, Osaka dan Tokyo (The University of Tokyo). Saya coba menghubungi melalui email
Nagoya dan The University of Tokyo.
Bersyukur, usaha
kali ini memberikan hasil yang baik, The
University of Tokyo memberikan jawaban sesuai harapan. Di sana terdapat
analisis yang saya butuhkan. Kemudian, saya berkomunikasi dengan profesor yang
bersangkutan dan bertanya berbagai hal.
Salah satunya
mengenai research money, karena hal
ini cukup krusial mengingat uji analisis ini bukanlah pengujian yang simple dan
sederhana, sehingga membutuhkan biaya penelitian yang cukup besar untuk setiap
sample. Ternyata dugaan saya benar, analisis membutuhkan dana sebesar 50.000 JPY persample,
belum termasuk pre treatment 50.000 JPY juga persampel.
Kembali berpikir,
untuk memperoleh laboratorium ini saja tidaklah mudah, dan saya tidak boleh
berhenti dan menyerah di persimpangan jalan. Maka, langkah untuk menjumpai dan berdiskusi secara
langsung dengan profesor di The
University of Tokyo merupakan jalan yang terbaik saat itu. Setelah membuat
janji untuk berjumpa dan berdiskusi, saya bertekad untuk berangkat dari Chiba
menuju Tokyo hanya bermodal peta di atas kertas. Pada hari yang ditentukan, saya dapat bertemu dan bermusyawarah dengan profesor di The University of Tokyo, di akhir percakapan beliau meminta saya datang kembali untuk mempresentasikan
penelitian saya bersama mahasiswa dan para koleganya, serta bonus undangan
makan siang.
Pertemuan
tersebut memberikan kesepakatan berupa kolaborasi penelitian dengan beberapa
kesepakatan yang kami buat. Tentunya keringanan biaya penelitian untuk uji
analisis ini.
“karena hasil tidak akan pernah mengkhianati
prosesnya”.
Research Collaboration with The University of Tokyo - Japan
Credit: Siti Aisyah
***
Disini saya
belajar satu hal, bahwa “ilmu tidak memiliki batasan, bahkan terus
berkembang”.
Konsentrasi
belajar saya dibidang perikanan dan kelautan tapi dari titik inilah saya
memperoleh banyak hal. Perkembangan keilmuan melalui kolaborasi perikanan
dengan Remote sensing, Biotechnology dan
Nuklir.
Tidak hanya pengetahuan yang bisa kita peroleh
tapi juga pengalaman, seperti: cara kerja, manajemen waktu, produktivitas, pola
pikir, inisiatif untuk bergerak maju dan yang terpenting adalah dituntut untuk
belajar berkomunikasi serta membuat kesepatakan dengan banyak orang dari
berbagai negara (ini merupakan jawaban atas pertanyaan: “haruskan ke luar
negeri untuk belajar? Tidakkah cukup jika di Tanah Air saja?”. Kerap kali
kita berpikir bahwa ilmu memang bisa diperoleh di mana saja, apalagi akses
internet untuk belajar bisa diperoleh dimanapun, namun poin pengalamanlah yang
membedakan diantara keduanya. Yang tentunya, semua pengalaman positif itu berusaha kita
realisasikan saat kembali ke Tanah Air. *Hijrah! Kalau kata guru besar
Tjokroaminoto).
Terima kasih atas kesempatan besar ini ya Allah,
terima kasih atas dukungan yang sangat luar biasa dari orang tua (Pandeglang dan Semarang) serta suami
tercinta.
Terima kasih banyak atas bimbingan dan
dukungannya, kepada:
Ibu Dr. Ir. Delianis Pringgenies, M.Sc.,
Universitas Diponegoro – Indonesia
Bpk. Prof. Dr. Ir. Agus Hartoko, M.Sc.,
Universitas Diponegoro – Indonesia
Bpk. Prof. Josaphat Tetuko S. S., P.hD.,
Josaphat Microwave Remote Sensing, Chiba University – Japan
Bpk. Daisuke Umeno, P.hD., Biotechnology
Laboratory, Chiba University – Japan
Bpk. Prof. Hiroyuki Matsuzaki, P.hD., The
University of Tokyo - Japan
Salam,
Siti Aisyah
Pandeglang - Banten
Tuesday, 10 March 2015
Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan Republik
Indonesia dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi serta Kementeriaan Agama memberikan dana
khusus kepada anak bangsa dibidang pendidikan. Dalam
kalimat pengantarnya LPDP menyatakan bahwa “Keberhasilan menyiapkan sumber daya
manusia agar menjadi kekuatan bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa memerlukan
pendidikan yang mampu menghasilkan putra-putri bangsa yang berkarakter, cerdas,
terampil, berdaya juang dan daya saing tinggi, serta dilandasi dengan semangat
kebangsaan yang kuat”. Lebih
jelas mengenai LPDP bisa diakses melalui
web resmi LPDP www.lpdp.go.id.
Beasiswa LPDP
dewasa ini menjadi incaran pihak akademisi baik mahasiswa lulusan S1, mahasiswa
S2 bahkan S3. LPDP memiliki berbagai jenis beasiswa diantaranya, beasiswa
Magister dan Doktor, beasiswa Tesis dan Disertasi, beasiswa Dokter Spesialis,
beasiswa Presiden RI serta beasiswa Afirmasi. Ada pengalaman yang ingin saya
bagi disini terkait proses mendapatkan beasiswa LPDP khususnya beasiswa Tesis
atau penelitian.
Beasiswa LPDP
membuka pendaftaran sepanjang tahun dan dilakukan 4 kali proses seleksi dalam
satu tahun tersebut, sedangkan untuk beasiswa Tesis dan Disertasi hanya dilakukan
2 kali proses seleksi walaupun pendaftarannya dibuka sepanjang tahun.
Terdapat 2 tahapan
proses seleksi beasiswa Tesis dan Disertasi ini, diantaranya:
- Seleksi Administrasi;
- Seleksi Wawancara dan Leaderless Group Discussion (LGD), yang merupakan satu kesatuan dalam proses penilaian.
1.
Seleksi
Administrasi
Ada
beberapa persyaratan yang harus dipersiapkan dalam proses seleksi administrasi,
yaitu:
a. Proposal tesis yang
sudah disetujui oleh pembimbing atau promotor;
b. Transkrip nilai
seluruh mata kuliah;
c. Essay tidak lebih
dari 3 halaman (A4) yang menguraikan tentang peranan penerima beasiswa dalam
upayanya:
- Meningkatkan daya saing/nilai tambah produk dan/atau jasa nasional, dan/atau;
- Menyelesaikan permasalahan masyarakat dan bangsa, dan/atau;
- Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya.
d. Surat Keterangan
Ketua Program Studi;
e. Surat Pernyataan
tidak sedang dan tidak akan menerima bantuan beasiswa tesis dan disertasi dari
sumber lain baik dalam negeri maupun luar negeri;
f. Rencana Anggaran Biaya (RAB) sesuai dengan
satuan biaya yang berlaku;
g. Mengisi formulir
secara online di web LPDP yang berisi tentang:
- Identitas diri dan orang tua;
- Riwayat pendidikan;
- Riwayat pekerjaan (jika ada);
- Organisasi yang pernah diikuti dari SMP hingga Perguruan Tinggi;
- Organisasi di luar sekolah (dalam hal ini LPDP menilai seberapa aktifnya kita dalam hal bersosialisasi dengan masyarakat);
- Prestasi yang pernah dicapai;
- Kemampuan bahasa asing yang dibuktikan dalam TOEFL ITP/TOEFL iBT/IELTS;
- Pengalaman pelatihan atau workshop;
- Pengalaman riset;
- Konferensi dan seminar yang pernah diikuti baik sebagai panitia, peserta ataupun pembicara;
- Serta penghargaan yang pernah dicapai.
Semua berkas
persyaratan dipersiapkan dalam bentuk soft-file dan diunggah ke web LPDP dalam
format PDF. Hasil seleksi administrasi akan diumumkan melalui web LPDP. Semua
hal yang kita isi dan unggah berperan penting dalam proses seleksi administrasi
ini. Maka dari itu, persiapan yang baik akan memberikan hasil yang baik pula.
Jika lulus dalam
tahapan ini, langkah selanjutnya LPDP akan mengirimkan email undangan untuk
mengikuti tahap seleksi wawancara dan Leaderless
Group Discussion (LGD). Sebelum proses wawancara, pihak LPDP akan mengirimkan
2 sampai 3 kali email terkait lokasi wawancara, berkas yang harus dipersiapkan
dan kelompok wawancara serta kelompok LGD. Maka dari itu diharapkan untuk
selalu cek email atau mengaktifkan email di dalam smartphone kita agar informasi tidak terlewatkan.
2. Leaderless Group
Discussion (LGD)
LGD yaitu suatu
forum diskusi yang terdiri dari 8 orang peserta dari berbagai disiplin ilmu dan
disatukan dalam satu ruangan, di dalam ruangan tersebut terdapat 2 pihak LPDP,
salah satu diantaranya adalah psikologi. Kedua pihak LPDP ini hanya
memperhatikan proses berjalannya diskusi, tidak ikut serta berdiskusi. Saat di
dalam ruangan, masing-masing peserta diberikan satu artikel mengenai isu-isu
terkini. Penting buat kita untuk tetap update
berita terkini (dalam hal ini LPDP ingin melihat anak bangsa yang tidak
apatis terhadap urusan negeri. Isu-isu yang muncul terkait pendidikan, sosial,
ekonomi, kesehatan, hukum dan sumberdaya alam Indonesia).
Kelompok diskusi hanya
diberikan waktu 35-40 menit untuk berdiskusi, disini akan terlihat siapa yang
tiba-tiba dengan sendirinya menjadi moderator, notulen bahkan time keeper tanpa ditunjuk. Kunci LGD
ini tidak mendominasi jalannya
diskusi, tidak ngotot memperjuangkan pendapat melainkan bagaimana caranya kita
berusaha untuk menerima pendapat orang lain. Jika ada teman yang masih diam
dalam proses diskusi ini, kita harus bisa mengajaknya untuk dapat memberikan
argumen. Kebersamaan di LGD ini penting sekali. Pendapat yang diberikan pun
harus realistis dan mampu memberikan strategi-strategi kebijakan tertentu.
3. Seleksi Wawancara
Saya ingin
bercerita secara khusus mengenai seleksi wawancara sesuai dengan pengalaman
saya pribadi. Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan terkait proses wawancara
ini. Terutama berkas-berkas yang kita unggah saat seleksi administrasi harus
dibawa dalam bentuk berkas asli pada saat wawancara karena akan dilakukan
verifikasi data. Dalam proses verifikasi ini, LPDP cukup detail memperhatikan
keabsahan berkas kita dan semuanya harus asli.
Setelah dinyatakan
lolos verifikasi berkas, langkah selanjutnya seleksi wawancara (catatan:
Beberapa hari menjelang wawancara, LPDP akan mengirimkan email mengenai jadwal
wawancara dan LGD, setiap orang akan mendapatkan jadwal yang berbeda. Contoh: Wawancara
hari ini – LGD besok; atau wawancara besok-LGD hari ini; atau wawancara dan LGD
di hari yang sama). Disini saya
bercerita mengenai proses wawancara dan LGD dilakukan di hari yang
berbeda.
Ketika nama kita
dipanggil untuk melakukan wawancara, istilah “be your self” itu benar
adanya. Kita akan berhadapan dengan 3 interviewer sekaligus, diantaranya adalah
pihak akademisi, pihak LPDP dan psikologi. Saat pertama kali masuk ruangan, salah
satu cara saya untuk mengatasi demam panggung dengan tetap tersenyum dan jabat
tangan para interviewer satu persatu. Setiap peserta wawancara pasti memiliki
cerita yang berbeda, begitu pun dengan saya. Pertama kali yang ditanyakan oleh
interviewer yaitu keterkaitan nama saya, nama yang sering orang dengar tapi memiliki
makna itu menjadi waktu tersendiri. Disini demam panggung saya mulai mencair,
suasana mulai rileks dan tidak begitu mendebarkan, karena 2 interviewer berusaha
membuat suasana se-nyaman mungkin, walaupun 1 interviewer lainnya berusaha fokus
dengan raut cukup serius dan sedikit menegangkan, tapi hal tersebut benar-benar
menjadi penyeimbang.
Tidak begitu banyak
yang ditanyakan mengenai isi proposal penelitian saya, interviewer pertama
lebih tertarik tentang diri saya, pendidikan, keluarga, rencana setelah studi
bahkan diselengi oleh candaan untuk segera menikah haha. Keterkaitan mengenai rencana
setelah studi nanti membuat interviewer satu ini tertarik dan cukup lama
membahas mengenai hal tersebut. Selanjutnya, interviewer kedua lebih menegaskan
tentang RAB yang saya buat. Untuk diingat teman-teman, RAB disini cukup penting
dan krusial, jangan sembarang memberikan nominal, harus realistis dan jelas ya.
Yang menarik
lainnya saat psikologi bertanya, beliau benar-benar menggali tentang
kepemimpinan, terutama mengenai organisasi yang saya ikuti, baik dalam kampus
maupun luar kampus, termasuk beberapa pertanyaan mengenai jatidiri. Memahami
diri sendiri itu penting agar saat ada yang bertanya, kita mampu menjawab,
siapakah diri kita sebenarnya. Menjual diri itu ada baiknya, dalam hal positif
tentunya, dengan tetap menunjukan kualitas diri kita. Dan terakhir obrolan
dengan psikologi terkait problem solving,
biasanya berasal dari pengalaman kita masing-masing.
Terakhir, ucapkan
terima kasih atas kesempatan berharga yang diberikan ini, dan jangan lupa untuk
jabat tangan kembali para interviewer tersebut, biasanya diakhir pertemuan para
interviewer memberikan semangat serta doa untuk kita agar sukses dan lolos,
aamiin-kan laah hehe.
*untuk seleksi bulan Juli 2015 ini akan ada
beberapa perubahan proses seleksi LPDP. Terus update info LPDP melalui web resminya ya.
Catatan tambahan:
Dari pengalaman saya saat menunggu
wawancara, banyak teman-teman yang bercerita beberapa pengalamannya setelah
wawancara, bisa jadi pertimbangan teman-teman lainnnya dalam mempersiapkan
beasiswa LPDP ini. Ada sebagian besar yang saat wawancara, interviewernya
bertanya dengan menggunakan bahasa inggris dari awal sampai akhir, walaupun
tujuan beasiswanya dalam negeri, tapi tidak menutup kemungkinan juga saat
wawancara untuk beasiswa luar negeri, hanya beberapa pertanyaan saja yang menggunakan
bahasa inggris.
Terkait pertanyaan wawancara pun bisa
beragam, setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentunya. Persiapkan diri sebaik mungkin, karena
hasil tidak akan pernah mengkhianati prosesnya. Terutama restu dan doa orang
tua.
“if you keep on believing, the dreams that
you wish will come true”.
-The
best of luck for all of you-
Best
regard,
Siti aisyah
Friday, 9 January 2015
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti arti
kerinduan.
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti arti
perjuangan saat kembali pulang dan terbayar dengan sebuah pelukan.
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti arti quality time saat berbincang dengan adik
di ruang santai dan berbagi pengalaman.
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti
kerinduan akan selera lidah bahwa masakan rumahlah yang paling istimewa.
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengumpulkan
cerita saat kumpul bersama keluarga.
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti bahwa
tempat kembali yang sebenarnya adalah rumah.
Ternyata, dunia tidak sebatas depan rumah. Itulah mengapa, aku
harus keluar dari rumah. Untuk belajar arti kehidupan.
¾
Kerinduan,
perjuangan dan pengalaman.
Terima kasih Tuhan, atas skenario yang Engkau berikan.
Siti Aisyah
Pandeglang, 4 Mei 2014
“That’s why…”
Post on my facebook, Mei 4th, 2014.
Sunday, 7 December 2014
Indonesia di “elu-elu”-kan sebagai negara
komsumtif tertinggi dan menjadikan masyarakatnya ketergantungan akan sesuatu.
Ya, tidak dipungkiri, hal itupun yang saya alami. Salah satunya “candu”
terhadap perkembangan teknologi yang membuat masyarakat negeri ini “latah”
untuk mengikuti trend teknologi terkini. Ketergantungan di
jaman modern yang katanya serba enak, apalagi jika tinggal di
kota besar, aksesnya mudah sekali dijangkau. Misalnya transportasi, setiap
warga nusantara dari golongan menengah pun sudah bisa menikmati transportasi
pribadi.
Nah, saya garis bawahi transportasi
pribadi yang menjadikan mobilisasi lebih mudah, manusia jauh lebih
produkif –seharusnya- karena kemanapun bisa langsung naik motor atau mobil, dan
kemudian, tadaaa.. sampai di tempat tujuan. Cepat dan efisien.
Pernah lihat acara televisi atau koran bahkan
artikel media online yang menginformasikan tentang negara maju dengan budaya
atau tradisi warganya berjalan kaki? Pasti pernah dong ya, dengan smartphone di
tangan setiap harinya, pastinya akses informasi jauh lebih cepat ketimbang info
melalui berita televisi dan koran hehee. Contoh negara maju dengan
tradisi warga pejalan kaki yaitu Jepang. Pemerintahnya memberikan ruang dan
akses bagi masyarakat untuk berjalan kaki. Tapi disini saya ngga akan
panjang lebar bahas tentang Jepang dan tradisinya. Saya lebih tertarik bahas
tentang negeri sendiri. I love Indonesia. Harus :)
Ada pengalaman yang mungkin unik
yang ingin saya bagi disini. Unik bagi saya, belum tentu bagi orang lain.
Relatif bahasa kerennya.
*****
Berawal dari masyarakat modern, tidak terelakan saya pun
terlena dengan segala kemudahan akses saat ini. Bahkan saat saya masih
kanak-kanak jika tersedia fasilitas transportasi pribadi akan membuat saya dan
siapapun terbiasa dengan kemudahan dan kenyamanan akses. Misalnya, ke sekolah
di antar jemput, ke tempat A, B, C dan D jauh lebih mudah lalu lama kelamaan
merasa keenakan. Sampai akhirnya saat dianggap usia “dewasa”, ngga bisa
apa-apa, jangankan bawa roda empat, motor aja ngga berani.
Manja maksudnya? Mungkin iya. Tapi udah pernah belajar, cuma ngga berani
keluar.
Sadar banget jadi manusia itu harus mandiri.
Mandirinya mulai dari diri sendiri, setidaknya mulai membiasakan diri pake transportasi
publik. Dipaksa untuk bisa lebih tepatnya. Kalau ngga salah
dimulai dari kelas 2 menengah pertama. Diajarin rutenya naik angkot biar bisa
sampai sekolah, diajarin caranya menjaga diri di angkutan umum, katanya “kalau
kosong jangan naik”, dikasih tau ongkosnya berapa dan lain-lain.
Sampai lulus SMA, akhirnya berhasil
“mandiri”. Ke sekolah sendiri naik angkot dan saat itu ga pernah kenal dengan
istilah main (main di sini maksudnya jalan-jalan sama teman sepulang
sekolah bawa motor/mobil sendiri, misalnya). Alhasil, karena jarang main, yang saya tahu hanya
rumah, sekolah, tempat kursus/bimbel. Cuma itu. Ngga pengen
tau dan ngga tertarik untuk belajar dan bawa kendaraan sendiri. Main ada
waktunya, tentu di hari libur, bersama teman atau keluarga.
Yap, kesempatan masa–masa sekolah sudah lewat,
masih nyaman dan ngga mempermasalahkan dengan namanya “ga bisa
bawa kendaraan”. Masuk ke dunia baru, rutinitas baru, kegiatan dan hal baru di
sekolah tinggi. Tapi sekali lagi, masih belum menemukan permasalahan mengenai
transportasi. Karena saat dibangku sekolah tinggi, strata satu, dengan kehidupan
dan tradisi ber”koloni”, bareng-bareng kemanapun, yang menyebabkan rasa
nyaman-nyaman aja. Ke kampus ngangkot bareng-bareng, trip yang lebih jauh, ada
teman yang bisa diajak bareng-bareng pula. Mobilisasi dan kegiatan pun masih
sekitaran kampus dan mudah sekali dijangkau. Intinya, tahapan satu ini
terlewati, masih belum sadar pentingnya bisa bawa kendaraan. Tapi sudah mulai
mau belajar.
Pakai toga di usia 21 tahun, artinya step yang
lain sudah dilewati, lalu berubah menjadi seorang guru muda dengan lokasi
tempat kerja dan rumah hanya berjarak puluhan meter saja. Jalan kakipun sampai,
kurang lebih seperti jarak 2-3 gerbongnya kereta api. Dekat sekali bukan?
Melewati usia 23 tahun sudah dilatih dan membiasakan diri untuk menggunakan transportasi publik, dari angkutan kota alias angkot,
ojek, becak, bus, busway, kereta dan pesawat. Udah berani sendiri keliling
sekitar Banten, ke Jakarta sendiri pakai bus dan busway, ke Bandara sendiri
tanpa diantar dan tanpa taksi hanya bermodal bus dan shuttle bandara, ke
Bandung, Bogor, Jawa Tengah bahkan Jawa Timur. Sendiri.
Banyak
cerita, banyak pengalaman. Misalnya, kisah dalam angkot, saat itu di bangku SMA
pernah punya cerita berteman dengan siswa sekolah lain yang hampir setiap pagi
naik angkot yang sama, orangnya lucu dan tampan. Kenalannya di angkot, kece kan?!! Haha,
don’t try this at home. Ya iyalah. hahaa.
Kisah lainnya dalam bus malam, pasti ada aja
cerita dengan kenalan sebangku di perjalanan bus malam. Cerita apapun itu, bahkan kenalan baru tersebut sampai curhat dan buat saya ga tidur semalaman cuma buat jadi pendengar yang
baik.
Kalau di becak lain lagi, biasanya si abang becak suka
ngajak ngobrol, curhat juga ujung-ujungnya, kayanya tampang saya ini persis
dokter terapi yang suka mendengarkan keluhan pasiennya. Dicurhatin di
mana-mana.
Kisah di pesawat lain lagi, lebih tepatnya di
bandara. Entah ada magnet apa, yang selalu mengantarkan saya dapat rejeki di
bandara, beberapa kali. Tapi yang satu ini harus hati-hati ya, biasanya saya ga
mudah percaya sama orang baru, intinya, kalau hati saya bilang dia baik, ya
udah, percaya gitu aja. Hati sih yang bicara, jadi sulit dijelaskan. Sama
seperti ditanya”kok mau sih nikah sama dia? Nah, lho, hati kan yang memilih”
kaya begitulah kiranya.
Tapi yang lebih miris itu kalau di busway, saya
pernah keterima kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, selama naik busway, agak
suliti buat sosialisasi dengan sekitar. Semuanya nunduk, khusyu, fokus dengan
layarnya masing-masing. Itu sih pengalaman saya, pasti setiap orang
berbeda-beda.
Sampai
akhirnya, saya kembali menginjakan kaki di bangku sekolah lagi, sekolah strata
dua buat dapetin ilmu dan pengalaman, bukan hanya sekedar gelar. Lagi nyiapin
mental buat ngurus sesuatu hal yang lebih besar nantinya. Nah, disinilah saya
merasa harus berubah. Saya harus bisa segalanya, saya harus aktif, saya harus
bisa bawa motor, saya harus bisa bawa mobil, saya harus terbiasa naik
transpotasi publik, saya ga boleh ketergantungan, saya ga boleh manja.
dan
Saya suka jalan kaki.
Itu poinnya…
Di sekolah saya yang sekarang dan hampir
memasuki tingkat akhir membuat saya harus mandiri, ga ada lagi istilah
ber”koloni”. Apapun harus dilakukan sendiri, dengan kebiasaan untuk berkegiatan
produktif membuat saya harus survive. Kalau mau ini itu harus
sendiri, akhirnya terbiasa kemanapun naik transportasi publik, terbiasa
kemanapun berjalan kaki. Bisa kuat berjalan sampai 5 km. Sendiri.
Tapi banyak yang ngga percaya.
Ya iyalah, saya aja ngga percaya kalau hobi saya sekarang
berjalan kaki. Ayah saya yang melatih ini. Ya, Ayah saya.
Badan saya kecil, lebih tepatnya kurus, tetangga
di lingkungan saya pun ga percaya kalau saya merantau hingga Semarang dan
berani kemana-mana sendiri. Saya yang dikenal manja, kurus, bahkan mungkin
lemah bisa melakukan apapun sendiri. Walaupun daya dukung tubuh tidak sebanding
dengan banyaknya kegiatan, tapi hal ini yang justru membuat saya ga pernah mau
terlihat lemah. Ya kuncinya jaga kesehatan, kalau udah tahu lemah, maka perkuat
kelemahan itu. Salah satunya dengan berolahraga, walaupun ga rutin, setidaknya
"kebiasaan" berjalan kaki buat badan jadi berasa enak, udah jarang
yang namanya kena flu atau batuk. Ada kecualinya ya, kalau Allah
berkehendak. Tapi selama ada ikhtiar inshaAllah sehat hehee.
Jalan kaki dari kosan hingga kampus yang
jaraknya sekitar 2 km, tergantung rute yang diambil sih. Mau kemanapun selama
–bagi saya- jaraknya dekat, maka saya akan berjalan, dengan kaki.
Kebiasaan jalan kaki ini membuat saya terbiasa
berjalan cepat. Cepat menurut saya. Dan sudah pernah berjanji untuk tidak
pernah mengeluh lagi dengan urusan transportasi, baik publik maupun pribadi.
Ada waktunya saya bisa bawa kendaraan sendiri. insyaAllah ada.
Buat teman-teman yang sama-sama pengguna jalan PUBLIK,
yuk saling berbagi. Saya selalu terharu dan senang saat ada pengguna jalan yang
bijak saat dia membawa kendaraannya dengan mempersilahkan pejalan kaki untuk
menyebrang atau tidak menggunakan klakson dengan keras saat pejalan kaki mungkin menghalangi
jalan anda. Sama-sama saling memberikan ruang. Jika ingin dihormati, maka
hormati orang lain. Ilmu timbal balik masih ingat kan ya.
Cukup sekian, catatan terpanjang saya untuk blog
kali ini
Semarang, 7 Desember 2014
Siti Aisyah
Subscribe to:
Posts (Atom)
Powered by Blogger.