Pageviews

Popular Posts

About

Search Me

Sunday 14 February 2016
30 Agustus 2015, pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip diantara sebuah kalimat paling sakral dalam suatu moment pernikahan. 

Ya, sebuah moment ijab qabul yang diucapkan oleh calon suami saya. Moment dimana seorang wanita pun merasakan perasaan berdebar yang teramat sangat disaat detik-detik ijab qabul hendak terucap.

Perasaan lega terhempas saat para saksi berucap kata ‘sah’ secara serentak. Alhamdulillah…


Rasanya saat itu yang terngiang hanyalah lagu “Barakallahu lakuma” milik Maher Zain sebagai soundtrack yang mengantarkan perjalanan saya dari tempat persembunyian pengantin wanita ke hadapan suami saya, yang menantikan genggaman tangan saat halal tersemat untuk kami berdua.

Aisyah dan Tri Cahyo, 30 Agustus 2015

Kami merupakan pasangan suami istri yang menikah bukan karena pacaran bertahun-tahun, kami hanyalah pasangan yang saling mengenal karena seorang perantara. Kami bukanlah teman sekampus, bukan teman sekantor, bukan teman sesama komunitas, bukan pula teman ketemu di jalan.

Saya sempat berpikir bahwa diperkenalkan oleh seseorang bukanlah bagian dari pilihan saya dalam menentukan pasangan. Awalnya saya lebih memilih untuk berjumpa dengan sendirinya siapa pasangan yang tepat untuk saya nantinya. Ternyata saya keliru, dan amat benar adanya bahwa jodoh ditangan Allah, jika Allah menghendaki pertemuan jodoh kita melalui perantara makhluk-Nya, mungkin disinilah jalannya. Sebuah skenario yang Tuhan persiapkan untuk umatnya dengan berbagai cara yang tak pernah kita sangka. Manusia hanya bisa berupaya dengan berusaha dan berdoa. Sekuat apapun upaya kita berusaha mencari sendiri jodoh tersebut, jika jodoh itu datang dari sisi teman terdekat, siapa yang dapat mengira? :)

Pertemuan kami cukup singkat, hanya butuh waktu 4 bulan setelah berkenalan menuju fase lamaran. Ketika kesiapan sudah di depan mata, apalagi yang kita harapkan kalau bukan sebuah kepastian? Kesiapan yang dimaksud pun bukan dalam bentuk sebuah materi melainkan kesiapan hati terhadap keseriusan suatu hubungan. Kami memiliki pemikiran yang sama untuk berjalan menuju ke jenjang pernikahan.

Percayalah, jika kita meminta langsung pada Sang Pemilik Hati untuk menetapkan pilihan kita ke arah yang lebih serius dan sakral. Tak akan pernah ada alasan “mengapa”.

Karena pernikahan pada hakikatnya merupakan suatu ibadah dan sunah, walaupun level ilmu saya masih rendah. Namun sebuah prinsip yang mengantarkan saya hingga ke fase ini.

Aisyah, 30 Agustus 2015

***
Saya memiliki sebuah pemikiran yang lain, yang lagi-lagi terpatahkan. Saya pernah beranggapan bahwa untuk mendapatkan sebuah dukungan dari pasangan terhadap apapun yang kita cita-cita kan, kita harus memilih pasangan yang memiliki orientasi yang sama, sehingga kita bisa sama-sama menempuh sebuah jalan yang sama pula. Saya berpikir, jika ingin mendapatkan sebuah dukungan terhadap passion saya di bidang akademisi, maka saya harus mencari pasangan yang memiliki orientasi yang sama, di bidang akademisi pula. Pemikiran ini muncul karena sebuah pengalaman tentunya.

Namun, pemikiran di atas bukanlah satu-satunya pilihan yang mutlak. Sampai saya berjumpa dengan sosok pria yang satu ini, sosok seorang suami yang tidak memiliki kesamaan passion dengan saya. Namun dukungan tersebut saya dapatkan secara penuh.

Kami merupakan dua orang yang berbeda baik secara karakter, kegemaran dan passion kerja masa depan. Tapi siapa sangka perbedaan tersebut ternyata bisa menjadi suatu pelengkap diantara kami berdua. Perbedaan pula yang menjadikan kami merasa serupa.

Suami saya dikaruniai otak kanan yang dominan, sedangkan saya sebaliknya, otak kiri saya berperan penuh terhadap kinerja saya dalam keseharian. Saya bersyukur, kami berdua dikaruniai oleh Tuhan untuk saling mendukung dan memahami satu sama lain.

Passion saya dibidang akademik, suka belajar dan mengajar. Tapi sebaliknya, suami saya tidak terlalu betah belajar di kelas, dia tipe orang yang kreatif, bukan tipe yang terpaku ke dalam sebuah aturan akademik. Namun satu hal yang saya syukuri, dia menghargai kegemaran saya, dia mengerti bahwa akademisi bagian dari diri saya. Dia mendukung sepenuhnya apapun yang saya inginkan untuk mengembangkan karir saya di bidang akademisi.

Ridho-nya yang saya harapkan dan saya syukuri di saat kami harus melakukan hubungan pernikahan jarak jauh antara Semarang dan Jepang dikarenakan saya harus menempuh perjalanan belajar hingga ke Negeri Sakura. Atau bahkan perjalanan belajar yang harus meninggalkan kota Semarang berkali-kali. Namun, dibalik itu semua, sekembalinya kami untuk berjumpa, menyimpan banyak rindu yang kami rasakan seperti awal jumpa, seperti pasangan yang baru pertama kali kenal namun ber-sertifikat halal yang bebas mengekspresikan rindu kami dengan sebuah kecupan kening yang diberikan. Indah bukan yang namanya pacaran setelah menikah? Hihihi.

Aisyah dan Tri Cahyo at Studio Foto


***
Usia kami terpaut 7 tahun, saya menikah di usia 24 tahun dengan seorang pria kelahiran 1984. Darinya saya menemukan figur pria dewasa yang mengayomi, penuh kasih sayang sebagai pria yang terlahir sebagai anak terakhir dari sebuah keluarga, dan berjumpa dengan seorang putri pertama yang terlahir dengan tanggung jawab yang besar sebagai seorang kakak. Saling melengkapi dari berbagai macam sifat dan sikap atas kekurangan yang kami miliki.

***
Random-nya sebuah percakapan yang kami lakukan membuat waktu terasa cepat berlalu, hingga membuat tatapan mata dunia nyata jauh lebih berharga daripada dunia maya. Itulah sebabnya sampai detik ini, jarang sekali bagi saya dan suami untuk menunjukan pada dunia mengenai cerita cinta kami. Cinta kami tak terhalang oleh henpon.

***
Suami saya terlahir dengan jiwa seni yang tinggi, besar dalam balutan sebuah kelompok band lokal sebagai seorang vokalis yang pandai memetik gitar. Namun saya sebaliknya, tak ada satu pun alat musik yang dapat saya mainkan, peran saya sebagai penikmat musik dengan mendengarkan suami bersenandung dan bernyanyi dengan gitar andalannya adalah hobi baru yang menyenangkan bagi saya.

Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon Semarang


Kegemaran lainnya yang dimiliki suami saya adalah kelihaian membidik sebuah kamera sebagai photographer dan dilengkapi oleh hobi saya sebagai seorang “model amatir” membuat kami membuktikan bahwa untuk bersama tidak harus sama. Hobi bisa saja berbeda, tapi dukungan untuk saling berkembang adalah yang utama.

Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon, Semarang


“Manusia selamanya tidak akan sempurna, kemunculan cinta yang berasal dari hati yang dapat memberikan kesempurnaan.” _Aisyah_

Semarang, 12 Februari 2016
Siti Aisyah dan Tri Cahyo
Monday 28 December 2015
Merangkai serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna.
Bukanlah sebuah perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perjuangan selama ini menjadi nyata.

Dua tahun silam, ketika perjuangan untuk menggapai golden tiket berupa score TOEFL dan peningkatan bahasa menjadikan buku sebagai teman tak terpisahkan.
Teringat perjalanan panjang dari Pandeglang – Banten menuju Kediri – Jawa Timur demi mengumpulkan setiap puing impian.

Menekuni setiap inci grammar, tenses, pronounce dan semua kawan-kawannya demi sebuah pencapaian.

Sampai akhirnya tes demi tes dilakukan, teringat tes TOEFL saat di Jakarta, Semarang, Kediri bahkan hingga Malang. Sekali lagi, hanya untuk menggapai sebuah mimpi.

Ketika akhirnya berbagai perjuangan terbalaskan dengan sebuah hasil yang memuaskan. Yeay!! Hampir melewati perubahan tahun dan TOEFL pun berhasil dicapai.


One step closer.

***
Baru satu tahap, puing-puing puzzle mimpi belumlah sempurna.
Kembali teringat perjuangan memperoleh beasiswa sebagai salah satu cara untuk merealisasikan mimpi. Pun tidak mudah dalam proses fase setiap langkah untuk memperjuangkannya.

Mencoba dan menekuni cara untuk bisa mendapatkan beasiswa. Mempersiapkan setiap detail yang akhirnya mengantarkan saya hingga lolos seleksi administrasi, wawancara hingga Leaderless Group Discussion (LGD) dan menjadikan saya LPDP Awardee.

Sekali lagi. Selalu ada perjuangan untuk setiap tahap pencapaian.

Proses yang dilalui sangatlah panjang, butuh kesabaran, ketekunan dan kegigihan.
Mimpi semakin dekat.

***
Jepang
Selalu punya daya tarik, sebagai negara maju akan teknologi menjadi magnet tersendiri bagi saya untuk bisa pergi dan memetik ilmu di sana.
Impian untuk bisa ke negeri sakura menjadikan saya berupaya keras untuk bisa merealisasikannya.
Tahap selanjutnya, setelah menggapai bahasa dan beasiswa, yang harus saya lakukan adalah berkomunikasi dengan calon pembimbing di Jepang.

Berawal dari sebuah email yang saya hantarkan kepada calon pembimbing, berupa prolog perkenalan dan tujuan saya nantinya, dengan dinamika komunikasi yang beragam.

Waktu demi waktu terlewati, komunikasi terus berjalan untuk bisa mendapatkan sebuah “Invitation Letter”. Dan Tuhan Maha Penyempurna skenario untuk hambanya yang berupaya.

Alhamdulillah, Invitation Letter sudah saya terima.

Paspor, visa dan tiket menjadi gerbang utama menuju mimpi yang nyata. Nyata dan benar-benar nyata.

***
Keberangkatan

Deg-degan..Hal yang pertama kali saya rasakan. Berangkat sendiri dan untuk pertama kalinya ke luar negeri. Perjalanan yang harus ditempuh kurang lebih 10 jam dalam pesawat. Ke sebuah negeri yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Benar-benar deg-deg-an.

Tiba di Negeri Sakura dengan selamat dan aman berkat bantuan salah satu kawan Jepang yang sangat baik dan penuh totalitas. Tidak akan pernah saya lupakan. Yuki-san :D

***
Perjuangan kembali dimulai…

Tema penelitian saya cukup kompleks, membutuhkan 3 laboratorium untuk analisis data, diantaranya: Remote Sensing, Bioteknologi dan Radiocarbon Dating. Sebelum berangkat ke Jepang, saya  hanya berkomunikasi dan memastikan salah satu diantara tiga laboratorium yang saya butuhkan, yaitu Remote Sensing Laboratory di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory, Center for Environmental Remote Sensing- Chiba University, dibawah naungan seorang professor yang menjadi pembimbing saya selama di Jepang. Sedangkan, dua laboratorium lainnya (Bioteknologi dan Radiocarbon Dating) hanya dipastikan melalui explore website bahwa di Universitas yang saya tuju terdapat laboratorium tersebut. Karena jika ketiga laboratorium saya hubungi satu persatu (sebelum berangkat) maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama, sedangkan penelitian harus segera berjalan, show must go on.

Bertindak  dan bergerak jauh lebih baik daripada menunggu. Sehingga keputusan ini yang saya lakukan untuk tetap berangkat ke Jepang walaupun baru fix 1 laboratorium.

***
Remote Sensing Laboratory
Hangat, kesan pertama kali yang saya terima saat tiba di laboratorium ini. Sangat welcome dan penuh nuansa kekeluargaan. Kumpulan mahasiswa yang terdiri dari berbagai negara: Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Mongolia, berbaur menjadi satu dalam sebuah ruang kerja yang kami sebut sebagai laboratorium. Tidak ada pembatas generasi S1, S2 atau S3. Semua bersama-sama belajar, tidak ada batas senioritas. Bersatu bersama, layaknya keluarga.
Banyak hal baru yang saya peroleh disini, semua mahasiswa bekerja dengan sangat giat, memberikan energi positif untuk kita terus belajar dan berjuang.
Mengikuti berbagai kegiatan seminar manjadi bonus tersendiri bagi saya. Melihat perkembangan terknologi radar dan satelit yang selama ini hanya saya pelajari melalui aplikasi remote sensing saja. Namun disini, saya melihat orang-orang yang berjuang dan membuat sesuatu hal yang baru.

Belajar ilmu baru, berdiskusi dengan pembimbing dan teman-teman di laboratorium. Untuk kali pertama bagi saya, belajar dan berkegiatan dari pagi hingga pagi lagi, ya hanya disini, di Jepang.

Welcome Dinner with Professor Josaphat and Laboratory-mate from South Korea at Nishi Chiba – Japan
Credit: Media sosial Josaphat Sensei

***
Biotechnology Laboratory
Disamping penelitian di Remote Sensing Laboratory, saya terus berusaha untuk mendapatkan laboratorium lain yang dibutuhkan. Berdiskusi dengan pembimbing (dari remote sensing laboratory) dan senpai untuk mencari cara agar bisa melakukan analisis di biotechnology laboratory. Setelah menghubungi langsung profesor terkait biotechnology melalui email dan telepon namun tidak ada jawaban karena berbagai hal. Kemudian pilihan terbaik adalah mengunjungi beliau langsung di laboratorium atau ruang kerjanya.

Waktu dan moment yang tepat, Profesor yang saya tuju berada di ruangan dan sangat welcome sekali ketika kedatangan mahasiswa lain yang ingin melakukan analisis disini. Setelah berdiskusi cukup panjang, sang profesor memberikan saya jadwal untuk mempresentasikan penelitian saya di hadapannya. Setelah waktu yang ditentukan tiba, saya mengunjungi beliau untuk melakukan diskusi bersama. Beliau cukup tertarik dan meminta saya untuk hadir kembali dalam rangka presentasi di depan para dosen dan seluruh mahasiswanya.


Presentation and discussion with Sensei and all of students at Biotechnology Laboratory
Chiba University - Japan
Credit: Siti Aisyah

Setelah tahap presentasi dan diskusi selesai, kami membuat jadwal penelitian yang akan saya lakukan untuk analisis disini. Pendamping penelitian saya adalah mahasiswa S3 dari China, tipe mahasiswa yang benar-benar visioner, darinya saya belajar manajemen waktu yang berbeda bahkan cara kerja yang tersusun rapi. Analisis yang akan saya gunakan bukanlah hal yang sederhana dan membutuhkan bahan-bahan yang tidak biasa. Sehingga  tahap perencanaan dan persiapan prosedur haruslah tepat.

Alat-alat di laboratorium tentunya memiliki kualitas yang tinggi dari segi teknologi dan kecanggihan. Semua alat yang dibutuhkan sudah tersedia disini. Setiap peneliti pun memiliki posisi meja kerjanya masing-masing . Semua alat-alat tersimpan rapi pada tempatnya. Pun bagi setiap pengguna, jika selesai menggunakan alat tertentu harus menyimpan kembali pada tempat sebelumnya. Sama halnya dengan kebersihan dan keamanan laboratorium yang tentunya harus dijaga dengan sangat baik terutama kotak sampah yang berbeda untuk setiap jenis seperti tissue, plastik, tube bekas analisis dan glove yang terkena bahan kimia berbahaya harus dibuang secara terpisah.

Disiplin, produktif dan cara manajemen waktu sebagai bekal pengalaman yang saya dapatkan disini selain ilmu dan pengetahuan.
Rekaman perjalanan selama experimen di Biotechnology Laboratory tertulis dalam buku “Research Lab Notebook by Siti Aisyah”.

Research Lab Notebook
Credit: Siti Aisyah
***
Radiocarbon Dating Laboratory
Untuk memperoleh laboratorium yang satu ini tidaklah mudah, total sekitar 6 laboratorium yang saya jamah hanya untuk mencari analisis ini. Kali pertama yang saya tanya dan tuju adalah salah satu institusi dan laboratorium di Indonesia. Namun sayang, butuh waktu dan prosedur yang sangat panjang dan lama untuk bisa melakukan analisis disini. Langkah berikutnya, ketika masih di Indonesia saya coba mendapatkan informasi mengenai uji radiocarbon dating di salah satu Universitas di Jepang, tepatnya di Okinawa, dan sekali lagi, hasil tidak sesuai harapan.

Langkah ketiga, karena saya berkesempatan penelitian di Chiba University Jepang, maka saya coba gunakan kesempatan ini untuk mengunjungi salah satu laboratorium di Chiba University terkait analisis ini. setelah mengunjungi laboratorium yang saya tuju, ternyata hanya tertera untuk uji carbon yang berbeda bukan Radiocarbon Dating.

Langkah berikutnya, saya coba berkomunikasi dengan universitas terdekat dari Chiba, yaitu Tokyo Institute of Technology karena tertera departemen nuklir disana. Setelah berkomunikasi hampir 3 hari, ternyata uji analisis radiocarbon dating tidak terdapat di universitas ini.

Perjuangan belum berakhir, selama masih ada kesempatan, saya gunakan setiap detik waktu luang untuk terus berusaha.

Saya searching kembali di internet mengenai analisis radiocarbon dating di Jepang, dan memang hanya ada di beberapa lokasi saja, seperti Nagoya, Fukushima, Osaka dan Tokyo (The University of Tokyo). Saya coba menghubungi melalui email Nagoya dan The University of Tokyo.

Bersyukur, usaha kali ini memberikan hasil yang baik, The University of Tokyo memberikan jawaban sesuai harapan. Di sana terdapat analisis yang saya butuhkan. Kemudian, saya berkomunikasi dengan profesor yang bersangkutan dan bertanya berbagai hal.

Salah satunya mengenai research money, karena hal ini cukup krusial mengingat uji analisis ini bukanlah pengujian yang simple dan sederhana, sehingga membutuhkan biaya penelitian yang cukup besar untuk setiap sample. Ternyata dugaan saya benar, analisis membutuhkan dana sebesar 50.000 JPY persample, belum termasuk pre treatment 50.000 JPY juga persampel.

Kembali berpikir, untuk memperoleh laboratorium ini saja tidaklah mudah, dan saya tidak boleh berhenti dan menyerah di persimpangan jalan. Maka, langkah untuk menjumpai dan berdiskusi secara langsung dengan profesor di The University of Tokyo merupakan jalan yang terbaik saat itu. Setelah membuat janji untuk berjumpa dan berdiskusi, saya bertekad untuk berangkat dari Chiba menuju Tokyo hanya bermodal peta di atas kertas. Pada hari yang ditentukan, saya dapat bertemu dan bermusyawarah dengan profesor di The University of Tokyo, di akhir percakapan beliau meminta saya datang kembali untuk mempresentasikan penelitian saya bersama mahasiswa dan para koleganya, serta bonus undangan makan siang.

Pertemuan tersebut memberikan kesepakatan berupa kolaborasi penelitian dengan beberapa kesepakatan yang kami buat. Tentunya keringanan biaya penelitian untuk uji analisis ini.
karena hasil tidak akan pernah mengkhianati prosesnya”.



Research Collaboration with The University of Tokyo - Japan
Credit: Siti Aisyah

***
Disini saya belajar satu hal, bahwa “ilmu tidak memiliki batasan, bahkan terus berkembang”.
Konsentrasi belajar saya dibidang perikanan dan kelautan tapi dari titik inilah saya memperoleh banyak hal. Perkembangan keilmuan melalui kolaborasi perikanan dengan Remote sensing, Biotechnology dan Nuklir.

Tidak hanya pengetahuan yang bisa kita peroleh tapi juga pengalaman, seperti: cara kerja, manajemen waktu, produktivitas, pola pikir, inisiatif untuk bergerak maju dan yang terpenting adalah dituntut untuk belajar berkomunikasi serta membuat kesepatakan dengan banyak orang dari berbagai negara (ini merupakan jawaban atas pertanyaan: “haruskan ke luar negeri untuk belajar? Tidakkah cukup jika di Tanah Air saja?”. Kerap kali kita berpikir bahwa ilmu memang bisa diperoleh di mana saja, apalagi akses internet untuk belajar bisa diperoleh dimanapun, namun poin pengalamanlah yang membedakan diantara keduanya. Yang tentunya, semua pengalaman positif itu berusaha kita realisasikan saat kembali ke Tanah Air. *Hijrah! Kalau kata guru besar Tjokroaminoto).

Terima kasih atas kesempatan besar ini ya Allah, terima kasih atas dukungan yang sangat luar biasa dari orang tua (Pandeglang dan Semarang) serta suami tercinta.

Terima kasih banyak atas bimbingan dan dukungannya, kepada:
Ibu Dr. Ir. Delianis Pringgenies, M.Sc., Universitas Diponegoro – Indonesia
Bpk. Prof. Dr. Ir. Agus Hartoko, M.Sc., Universitas Diponegoro – Indonesia
Bpk. Prof. Josaphat Tetuko S. S., P.hD., Josaphat Microwave Remote Sensing, Chiba University – Japan
Bpk. Daisuke Umeno, P.hD., Biotechnology Laboratory, Chiba University – Japan
Bpk. Prof. Hiroyuki Matsuzaki, P.hD., The University of Tokyo - Japan

Salam,
Siti Aisyah
Pandeglang - Banten
Tuesday 10 March 2015
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi serta Kementeriaan Agama memberikan dana khusus kepada anak bangsa dibidang pendidikan. Dalam kalimat pengantarnya LPDP menyatakan bahwa “Keberhasilan menyiapkan sumber daya manusia agar menjadi kekuatan bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa memerlukan pendidikan yang mampu menghasilkan putra-putri bangsa yang berkarakter, cerdas, terampil, berdaya juang dan daya saing tinggi, serta dilandasi dengan semangat kebangsaan yang kuat”. Lebih  jelas mengenai LPDP bisa diakses melalui web resmi LPDP www.lpdp.go.id.

Beasiswa LPDP dewasa ini menjadi incaran pihak akademisi baik mahasiswa lulusan S1, mahasiswa S2 bahkan S3. LPDP memiliki berbagai jenis beasiswa diantaranya, beasiswa Magister dan Doktor, beasiswa Tesis dan Disertasi, beasiswa Dokter Spesialis, beasiswa Presiden RI serta beasiswa Afirmasi. Ada pengalaman yang ingin saya bagi disini terkait proses mendapatkan beasiswa LPDP khususnya beasiswa Tesis atau penelitian.

Beasiswa LPDP membuka pendaftaran sepanjang tahun dan dilakukan 4 kali proses seleksi dalam satu tahun tersebut, sedangkan untuk beasiswa Tesis dan Disertasi hanya dilakukan 2 kali proses seleksi walaupun pendaftarannya dibuka sepanjang tahun.

Terdapat 2 tahapan proses seleksi beasiswa Tesis dan Disertasi ini, diantaranya:
  1.  Seleksi Administrasi;
  2. Seleksi Wawancara dan Leaderless Group Discussion (LGD), yang merupakan satu kesatuan dalam proses penilaian. 

1.             Seleksi Administrasi
Ada beberapa persyaratan yang harus dipersiapkan dalam proses seleksi administrasi, yaitu:
a.     Proposal tesis yang sudah disetujui oleh pembimbing atau promotor;
b.    Transkrip nilai seluruh mata kuliah;
c.    Essay tidak lebih dari 3 halaman (A4) yang menguraikan tentang peranan penerima beasiswa dalam upayanya:

  1. Meningkatkan daya saing/nilai tambah produk dan/atau jasa nasional, dan/atau;
  2. Menyelesaikan permasalahan masyarakat dan bangsa, dan/atau;
  3.  Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya.
d.  Surat Keterangan Ketua Program Studi;
e.  Surat Pernyataan tidak sedang dan tidak akan menerima bantuan beasiswa tesis dan disertasi dari sumber lain baik dalam negeri maupun luar negeri;
f.     Rencana Anggaran Biaya (RAB) sesuai dengan satuan biaya yang berlaku;
g.    Mengisi formulir secara online di web LPDP yang berisi tentang:

  1.  Identitas diri dan orang tua;
  2. Riwayat pendidikan;
  3.  Riwayat pekerjaan (jika ada);
  4.  Organisasi yang pernah diikuti dari SMP hingga Perguruan Tinggi;
  5. Organisasi di luar sekolah (dalam hal ini LPDP menilai seberapa aktifnya kita dalam hal bersosialisasi dengan masyarakat);
  6. Prestasi yang pernah dicapai;
  7. Kemampuan bahasa asing yang dibuktikan dalam TOEFL ITP/TOEFL iBT/IELTS;
  8. Pengalaman pelatihan atau workshop;
  9. Pengalaman riset;
  10. Konferensi dan seminar yang pernah diikuti baik sebagai panitia, peserta ataupun pembicara;
  11. Serta penghargaan yang pernah dicapai.

Semua berkas persyaratan dipersiapkan dalam bentuk soft-file dan diunggah ke web LPDP dalam format PDF. Hasil seleksi administrasi akan diumumkan melalui web LPDP. Semua hal yang kita isi dan unggah berperan penting dalam proses seleksi administrasi ini. Maka dari itu, persiapan yang baik akan memberikan hasil yang baik pula.

Jika lulus dalam tahapan ini, langkah selanjutnya LPDP akan mengirimkan email undangan untuk mengikuti tahap seleksi wawancara dan Leaderless Group Discussion (LGD). Sebelum proses wawancara, pihak LPDP akan mengirimkan 2 sampai 3 kali email terkait lokasi wawancara, berkas yang harus dipersiapkan dan kelompok wawancara serta kelompok LGD. Maka dari itu diharapkan untuk selalu cek email atau mengaktifkan email di dalam smartphone kita agar informasi tidak terlewatkan.

  2.    Leaderless Group Discussion (LGD)
LGD yaitu suatu forum diskusi yang terdiri dari 8 orang peserta dari berbagai disiplin ilmu dan disatukan dalam satu ruangan, di dalam ruangan tersebut terdapat 2 pihak LPDP, salah satu diantaranya adalah psikologi. Kedua pihak LPDP ini hanya memperhatikan proses berjalannya diskusi, tidak ikut serta berdiskusi. Saat di dalam ruangan, masing-masing peserta diberikan satu artikel mengenai isu-isu terkini. Penting buat kita untuk tetap update berita terkini (dalam hal ini LPDP ingin melihat anak bangsa yang tidak apatis terhadap urusan negeri. Isu-isu yang muncul terkait pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, hukum dan sumberdaya alam Indonesia).

Kelompok diskusi hanya diberikan waktu 35-40 menit untuk berdiskusi, disini akan terlihat siapa yang tiba-tiba dengan sendirinya menjadi moderator, notulen bahkan time keeper tanpa ditunjuk. Kunci LGD ini tidak mendominasi jalannya diskusi, tidak ngotot memperjuangkan pendapat melainkan bagaimana caranya kita berusaha untuk menerima pendapat orang lain. Jika ada teman yang masih diam dalam proses diskusi ini, kita harus bisa mengajaknya untuk dapat memberikan argumen. Kebersamaan di LGD ini penting sekali. Pendapat yang diberikan pun harus realistis dan mampu memberikan strategi-strategi kebijakan tertentu.

3. Seleksi Wawancara
Saya ingin bercerita secara khusus mengenai seleksi wawancara sesuai dengan pengalaman saya pribadi. Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan terkait proses wawancara ini. Terutama berkas-berkas yang kita unggah saat seleksi administrasi harus dibawa dalam bentuk berkas asli pada saat wawancara karena akan dilakukan verifikasi data. Dalam proses verifikasi ini, LPDP cukup detail memperhatikan keabsahan berkas kita dan semuanya harus asli.

Setelah dinyatakan lolos verifikasi berkas, langkah selanjutnya seleksi wawancara (catatan: Beberapa hari menjelang wawancara, LPDP akan mengirimkan email mengenai jadwal wawancara dan LGD, setiap orang akan mendapatkan jadwal yang berbeda. Contoh: Wawancara hari ini – LGD besok; atau wawancara besok-LGD hari ini; atau wawancara dan LGD di hari yang sama). Disini saya  bercerita mengenai proses wawancara dan LGD dilakukan di hari yang berbeda.

Ketika nama kita dipanggil untuk melakukan wawancara, istilah “be your self” itu benar adanya. Kita akan berhadapan dengan 3 interviewer sekaligus, diantaranya adalah pihak akademisi, pihak LPDP dan psikologi. Saat pertama kali masuk ruangan, salah satu cara saya untuk mengatasi demam panggung dengan tetap tersenyum dan jabat tangan para interviewer satu persatu. Setiap peserta wawancara pasti memiliki cerita yang berbeda, begitu pun dengan saya. Pertama kali yang ditanyakan oleh interviewer yaitu keterkaitan nama saya, nama yang sering orang dengar tapi memiliki makna itu menjadi waktu tersendiri. Disini demam panggung saya mulai mencair, suasana mulai rileks dan tidak begitu mendebarkan, karena 2 interviewer berusaha membuat suasana se-nyaman mungkin, walaupun 1 interviewer lainnya berusaha fokus dengan raut cukup serius dan sedikit menegangkan, tapi hal tersebut benar-benar menjadi penyeimbang.

Tidak begitu banyak yang ditanyakan mengenai isi proposal penelitian saya, interviewer pertama lebih tertarik tentang diri saya, pendidikan, keluarga, rencana setelah studi bahkan diselengi oleh candaan untuk segera menikah haha. Keterkaitan mengenai rencana setelah studi nanti membuat interviewer satu ini tertarik dan cukup lama membahas mengenai hal tersebut. Selanjutnya, interviewer kedua lebih menegaskan tentang RAB yang saya buat. Untuk diingat teman-teman, RAB disini cukup penting dan krusial, jangan sembarang memberikan nominal, harus realistis dan jelas ya.

Yang menarik lainnya saat psikologi bertanya, beliau benar-benar menggali tentang kepemimpinan, terutama mengenai organisasi yang saya ikuti, baik dalam kampus maupun luar kampus, termasuk beberapa pertanyaan mengenai jatidiri. Memahami diri sendiri itu penting agar saat ada yang bertanya, kita mampu menjawab, siapakah diri kita sebenarnya. Menjual diri itu ada baiknya, dalam hal positif tentunya, dengan tetap menunjukan kualitas diri kita. Dan terakhir obrolan dengan psikologi terkait problem solving, biasanya berasal dari pengalaman kita masing-masing.

Terakhir, ucapkan terima kasih atas kesempatan berharga yang diberikan ini, dan jangan lupa untuk jabat tangan kembali para interviewer tersebut, biasanya diakhir pertemuan para interviewer memberikan semangat serta doa untuk kita agar sukses dan lolos, aamiin-kan laah hehe.

*untuk seleksi bulan Juli 2015 ini akan ada beberapa perubahan proses seleksi LPDP. Terus update info LPDP melalui web resminya ya.

Catatan tambahan:
Dari pengalaman saya saat menunggu wawancara, banyak teman-teman yang bercerita beberapa pengalamannya setelah wawancara, bisa jadi pertimbangan teman-teman lainnnya dalam mempersiapkan beasiswa LPDP ini. Ada sebagian besar yang saat wawancara, interviewernya bertanya dengan menggunakan bahasa inggris dari awal sampai akhir, walaupun tujuan beasiswanya dalam negeri, tapi tidak menutup kemungkinan juga saat wawancara untuk beasiswa luar negeri, hanya beberapa pertanyaan saja yang menggunakan bahasa inggris.
Terkait pertanyaan wawancara pun bisa beragam, setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentunya. Persiapkan diri sebaik mungkin, karena hasil tidak akan pernah mengkhianati prosesnya. Terutama restu dan doa orang tua.

if you keep on believing, the dreams that you wish will come true”.

-The best of luck for all of you-
Best regard,
Siti aisyah 
Friday 9 January 2015
Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti arti kerinduan.

Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti arti perjuangan saat kembali pulang dan terbayar dengan sebuah pelukan.

Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti arti quality time saat berbincang dengan adik di ruang santai dan berbagi pengalaman.

Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti kerinduan akan selera lidah bahwa masakan rumahlah yang paling istimewa.

Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengumpulkan cerita saat kumpul bersama keluarga.


Itulah mengapa aku harus keluar dari rumah. Untuk mengerti bahwa tempat kembali yang sebenarnya adalah rumah.

Ternyata, dunia tidak sebatas depan rumah. Itulah mengapa, aku harus keluar dari rumah. Untuk belajar arti kehidupan.

¾    Kerinduan, perjuangan dan pengalaman.

Terima kasih Tuhan, atas skenario yang Engkau berikan.

Siti Aisyah
Pandeglang, 4 Mei 2014
“That’s why…”

Post on my facebook,  Mei  4th, 2014.
Sunday 7 December 2014
Indonesia di “elu-elu”-kan sebagai negara komsumtif tertinggi dan menjadikan masyarakatnya ketergantungan akan sesuatu. Ya, tidak dipungkiri, hal itupun yang saya alami. Salah satunya “candu” terhadap perkembangan teknologi yang membuat masyarakat negeri ini “latah” untuk mengikuti trend teknologi terkini. Ketergantungan di jaman modern yang katanya serba enak, apalagi jika tinggal di kota besar, aksesnya mudah sekali dijangkau. Misalnya transportasi, setiap warga nusantara dari golongan menengah pun sudah bisa menikmati transportasi pribadi.

Nah, saya garis bawahi transportasi pribadi yang menjadikan mobilisasi lebih mudah, manusia jauh lebih produkif –seharusnya- karena kemanapun bisa langsung naik motor atau mobil, dan kemudian, tadaaa.. sampai di tempat tujuan. Cepat dan efisien.

Pernah lihat acara televisi atau koran bahkan artikel media online yang menginformasikan tentang negara maju dengan budaya atau tradisi warganya berjalan kaki? Pasti pernah dong ya, dengan smartphone di tangan setiap harinya, pastinya akses informasi jauh lebih cepat ketimbang info melalui berita televisi dan koran hehee.  Contoh negara maju dengan tradisi warga pejalan kaki yaitu Jepang. Pemerintahnya memberikan ruang dan akses bagi masyarakat untuk berjalan kaki. Tapi disini saya ngga akan panjang lebar bahas tentang Jepang dan tradisinya. Saya lebih tertarik bahas tentang negeri sendiri. I love Indonesia. Harus :)

Ada pengalaman yang mungkin unik yang ingin saya bagi disini. Unik bagi saya, belum tentu bagi orang lain. Relatif bahasa kerennya.

*****
Berawal dari masyarakat modern, tidak terelakan saya pun terlena dengan segala kemudahan akses saat ini. Bahkan saat saya masih kanak-kanak jika tersedia fasilitas transportasi pribadi akan membuat saya dan siapapun terbiasa dengan kemudahan dan kenyamanan akses. Misalnya, ke sekolah di antar jemput, ke tempat A, B, C dan D jauh lebih mudah lalu lama kelamaan merasa keenakan. Sampai akhirnya saat dianggap usia “dewasa”, ngga bisa apa-apa, jangankan bawa roda empat, motor aja ngga berani. Manja maksudnya? Mungkin iya. Tapi udah pernah belajar, cuma ngga berani keluar.

Sadar banget jadi manusia itu harus mandiri. Mandirinya mulai dari diri sendiri, setidaknya mulai membiasakan diri pake transportasi publik. Dipaksa untuk bisa lebih tepatnya. Kalau ngga salah dimulai dari kelas 2 menengah pertama. Diajarin rutenya naik angkot biar bisa sampai sekolah, diajarin caranya menjaga diri di angkutan umum, katanya “kalau kosong jangan naik”, dikasih tau ongkosnya berapa dan lain-lain.

Sampai lulus SMA, akhirnya berhasil “mandiri”. Ke sekolah sendiri naik angkot dan saat itu ga pernah kenal dengan istilah main (main di sini maksudnya jalan-jalan sama teman sepulang sekolah bawa motor/mobil sendiri, misalnya). Alhasil, karena jarang main, yang saya tahu hanya rumah, sekolah, tempat kursus/bimbel. Cuma itu. Ngga pengen tau dan ngga tertarik untuk belajar dan bawa kendaraan sendiri. Main ada waktunya, tentu di hari libur, bersama teman atau keluarga.

Yap, kesempatan masa–masa sekolah sudah lewat, masih nyaman dan ngga mempermasalahkan dengan namanya “ga bisa bawa kendaraan”. Masuk ke dunia baru, rutinitas baru, kegiatan dan hal baru di sekolah tinggi. Tapi sekali lagi, masih belum menemukan permasalahan mengenai transportasi. Karena saat dibangku sekolah tinggi, strata satu, dengan kehidupan dan tradisi ber”koloni”, bareng-bareng kemanapun, yang menyebabkan rasa nyaman-nyaman aja. Ke kampus ngangkot bareng-bareng, trip yang lebih jauh, ada teman yang bisa diajak bareng-bareng pula. Mobilisasi dan kegiatan pun masih sekitaran kampus dan mudah sekali dijangkau. Intinya, tahapan satu ini terlewati, masih belum sadar pentingnya bisa bawa kendaraan. Tapi sudah mulai mau belajar.

Pakai toga di usia 21 tahun, artinya step yang lain sudah dilewati, lalu berubah menjadi seorang guru muda dengan lokasi tempat kerja dan rumah hanya berjarak puluhan meter saja. Jalan kakipun sampai, kurang lebih seperti jarak 2-3 gerbongnya kereta api. Dekat sekali bukan?

Melewati usia 23 tahun sudah dilatih dan membiasakan diri untuk menggunakan transportasi publik, dari angkutan kota alias angkot, ojek, becak, bus, busway, kereta dan pesawat. Udah berani sendiri keliling sekitar Banten, ke Jakarta sendiri pakai bus dan busway, ke Bandara sendiri tanpa diantar dan tanpa taksi hanya bermodal bus dan shuttle bandara, ke Bandung, Bogor, Jawa Tengah bahkan Jawa Timur. Sendiri.

Banyak cerita, banyak pengalaman. Misalnya, kisah dalam angkot, saat itu di bangku SMA pernah punya cerita berteman dengan siswa sekolah lain yang hampir setiap pagi naik angkot yang sama, orangnya lucu dan tampan. Kenalannya di angkot, kece kan?!! Haha, don’t try this at home. Ya iyalah. hahaa.

Kisah lainnya dalam bus malam, pasti ada aja cerita dengan kenalan sebangku di perjalanan bus malam. Cerita apapun itu, bahkan kenalan baru tersebut sampai curhat dan buat saya ga tidur semalaman cuma buat jadi pendengar yang baik.

Kalau di becak lain lagi, biasanya si abang becak suka ngajak ngobrol, curhat juga ujung-ujungnya, kayanya tampang saya ini persis dokter terapi yang suka mendengarkan keluhan pasiennya. Dicurhatin di mana-mana.

Kisah di pesawat lain lagi, lebih tepatnya di bandara. Entah ada magnet apa, yang selalu mengantarkan saya dapat rejeki di bandara, beberapa kali. Tapi yang satu ini harus hati-hati ya, biasanya saya ga mudah percaya sama orang baru, intinya, kalau hati saya bilang dia baik, ya udah, percaya gitu aja. Hati sih yang bicara, jadi sulit dijelaskan. Sama seperti ditanya”kok mau sih nikah sama dia? Nah, lho, hati kan yang memilih” kaya begitulah kiranya.

Tapi yang lebih miris itu kalau di busway, saya pernah keterima kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, selama naik busway, agak suliti buat sosialisasi dengan sekitar. Semuanya nunduk, khusyu, fokus dengan layarnya masing-masing. Itu sih pengalaman saya, pasti setiap orang berbeda-beda.

Sampai akhirnya, saya kembali menginjakan kaki di bangku sekolah lagi, sekolah strata dua buat dapetin ilmu dan pengalaman, bukan hanya sekedar gelar. Lagi nyiapin mental buat ngurus sesuatu hal yang lebih besar nantinya. Nah, disinilah saya merasa harus berubah. Saya harus bisa segalanya, saya harus aktif, saya harus bisa bawa motor, saya harus bisa bawa mobil, saya harus terbiasa naik transpotasi publik, saya ga boleh ketergantungan, saya ga boleh manja.

dan
Saya suka jalan kaki.

Itu poinnya…

Di sekolah saya yang sekarang dan hampir memasuki tingkat akhir membuat saya harus mandiri, ga ada lagi istilah ber”koloni”. Apapun harus dilakukan sendiri, dengan kebiasaan untuk berkegiatan produktif membuat saya harus survive. Kalau mau ini itu harus sendiri, akhirnya terbiasa kemanapun naik transportasi publik, terbiasa kemanapun berjalan kaki. Bisa kuat berjalan sampai 5 km. Sendiri. 

Tapi banyak yang ngga percaya. Ya iyalah, saya aja ngga percaya kalau hobi saya sekarang berjalan kaki. Ayah saya yang melatih ini. Ya, Ayah saya.

Badan saya kecil, lebih tepatnya kurus, tetangga di lingkungan saya pun ga percaya kalau saya merantau hingga Semarang dan berani kemana-mana sendiri. Saya yang dikenal manja, kurus, bahkan mungkin lemah bisa melakukan apapun sendiri. Walaupun daya dukung tubuh tidak sebanding dengan banyaknya kegiatan, tapi hal ini yang justru membuat saya ga pernah mau terlihat lemah. Ya kuncinya jaga kesehatan, kalau udah tahu lemah, maka perkuat kelemahan itu. Salah satunya dengan berolahraga, walaupun ga rutin, setidaknya "kebiasaan" berjalan kaki buat badan jadi berasa enak, udah jarang yang namanya kena flu atau batuk. Ada kecualinya ya, kalau Allah berkehendak. Tapi selama ada ikhtiar inshaAllah sehat hehee.

Jalan kaki dari kosan hingga kampus yang jaraknya sekitar 2 km, tergantung rute yang diambil sih. Mau kemanapun selama –bagi saya- jaraknya dekat, maka saya akan berjalan, dengan kaki.

Kebiasaan jalan kaki ini membuat saya terbiasa berjalan cepat. Cepat menurut saya. Dan sudah pernah berjanji untuk tidak pernah mengeluh lagi dengan urusan transportasi, baik publik maupun pribadi. Ada waktunya saya bisa bawa kendaraan sendiri. insyaAllah ada.

Buat teman-teman yang sama-sama pengguna jalan PUBLIK, yuk saling berbagi. Saya selalu terharu dan senang saat ada pengguna jalan yang bijak saat dia membawa kendaraannya dengan mempersilahkan pejalan kaki untuk menyebrang atau tidak menggunakan klakson dengan keras saat pejalan kaki mungkin menghalangi jalan anda. Sama-sama saling memberikan ruang. Jika ingin dihormati, maka hormati orang lain. Ilmu timbal balik masih ingat kan ya. 

Cukup sekian, catatan terpanjang saya untuk blog kali ini 
Semarang, 7 Desember 2014
Siti Aisyah
Powered by Blogger.