Pageviews
Popular Posts
-
Saya Siti Aisyah yang ketika lahir hingga masuk sekolah dasar dengan nama di Akta Kelahiran hanya 1 kata yaitu “Aisyah”. Nama te...
-
Senja hari menjelang matahari kembali pada peraduannya, saya duduk di sebuah kursi taman. Rindangnya pepohonan membuat sejuk kota dengan...
-
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan da...
-
Produktif, ga mau diem, pecicilan atau apapun itu istilahnya untuk menggambarkan kalau saya ga bisa berdiam diri di kosan, hingga liburan s...
-
Manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang menentukan. Sepandai-pandainya manusia membuat rencana, rencana Allah jauh lebih indah. Re...
-
30 Agustus 2015, pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip diantara sebuah kalimat paling sak...
-
Lanjutan part 1 ... Setalah pilihan ditentukan, kini saatnya bagi saya untuk fokus menggapai impian. Semua akan tercapai jika kita mampu...
-
Entah kenapa tiba-tiba terbesit di masa depan nanti, jika kelak memiliki putra/putri ingin menjadi seorang " Full-Time Mother ...
-
Merangkai serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna. Bukanlah sebuah perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perju...
-
Sepertinya hampir semua orang tau dimana dan apa itu kampung inggris. Suatu daerah yang menjadi tujuan manusia dengan berbagai profesi dan...
About
Blog Archive
About Me
Search Me
Monday, 28 December 2015
Merangkai
serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna.
Bukanlah sebuah
perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perjuangan selama ini menjadi
nyata.
Dua tahun silam,
ketika perjuangan untuk menggapai golden tiket berupa score TOEFL dan
peningkatan bahasa menjadikan buku sebagai teman tak terpisahkan.
Teringat
perjalanan panjang dari Pandeglang – Banten menuju Kediri – Jawa Timur demi
mengumpulkan setiap puing impian.
Menekuni setiap
inci grammar, tenses, pronounce dan semua kawan-kawannya demi sebuah pencapaian.
Sampai akhirnya
tes demi tes dilakukan, teringat tes TOEFL saat di Jakarta, Semarang, Kediri
bahkan hingga Malang. Sekali lagi, hanya untuk menggapai sebuah mimpi.
Ketika akhirnya
berbagai perjuangan terbalaskan dengan sebuah hasil yang memuaskan. Yeay!!
Hampir melewati perubahan tahun dan TOEFL
pun berhasil dicapai.
One step closer.
***
Baru satu tahap,
puing-puing puzzle mimpi belumlah
sempurna.
Kembali teringat
perjuangan memperoleh beasiswa sebagai salah satu cara untuk merealisasikan
mimpi. Pun tidak mudah dalam proses fase setiap langkah untuk memperjuangkannya.
Mencoba dan
menekuni cara untuk bisa mendapatkan beasiswa. Mempersiapkan setiap detail yang
akhirnya mengantarkan saya hingga lolos seleksi administrasi, wawancara hingga Leaderless Group Discussion (LGD) dan
menjadikan saya LPDP Awardee.
Sekali lagi. Selalu
ada perjuangan untuk setiap tahap pencapaian.
Proses yang
dilalui sangatlah panjang, butuh kesabaran, ketekunan dan kegigihan.
Mimpi semakin
dekat.
***
Jepang
Selalu punya daya
tarik, sebagai negara maju akan teknologi menjadi magnet tersendiri bagi saya
untuk bisa pergi dan memetik ilmu di sana.
Impian untuk bisa
ke negeri sakura menjadikan saya berupaya keras untuk bisa merealisasikannya.
Tahap selanjutnya,
setelah menggapai bahasa dan beasiswa, yang harus saya lakukan adalah
berkomunikasi dengan calon pembimbing di Jepang.
Berawal dari
sebuah email yang saya hantarkan kepada calon pembimbing, berupa prolog
perkenalan dan tujuan saya nantinya, dengan dinamika komunikasi yang beragam.
Waktu demi waktu
terlewati, komunikasi terus berjalan untuk bisa mendapatkan sebuah “Invitation Letter”. Dan Tuhan Maha Penyempurna
skenario untuk hambanya yang berupaya.
Alhamdulillah, Invitation
Letter sudah saya terima.
Paspor, visa dan
tiket menjadi gerbang utama menuju mimpi yang nyata. Nyata dan benar-benar
nyata.
***
Keberangkatan
Deg-degan..Hal yang pertama kali saya
rasakan. Berangkat sendiri dan untuk pertama kalinya ke luar negeri. Perjalanan
yang harus ditempuh kurang lebih 10 jam dalam pesawat. Ke sebuah negeri yang
belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Benar-benar deg-deg-an.
Tiba di Negeri
Sakura dengan selamat dan aman berkat bantuan salah satu kawan Jepang yang
sangat baik dan penuh totalitas. Tidak akan pernah saya lupakan. Yuki-san :D
***
Perjuangan
kembali dimulai…
Tema penelitian
saya cukup kompleks, membutuhkan 3 laboratorium untuk analisis data,
diantaranya: Remote Sensing, Bioteknologi dan Radiocarbon Dating. Sebelum
berangkat ke Jepang, saya hanya
berkomunikasi dan memastikan salah satu diantara tiga laboratorium yang saya
butuhkan, yaitu Remote Sensing Laboratory
di Josaphat Microwave Remote Sensing
Laboratory, Center for Environmental
Remote Sensing- Chiba University, dibawah naungan seorang professor yang
menjadi pembimbing saya selama di Jepang. Sedangkan, dua laboratorium lainnya
(Bioteknologi dan Radiocarbon Dating) hanya dipastikan melalui explore website bahwa di Universitas
yang saya tuju terdapat laboratorium tersebut. Karena jika ketiga laboratorium
saya hubungi satu persatu (sebelum berangkat) maka akan membutuhkan waktu yang
sangat lama, sedangkan penelitian harus segera berjalan, show must go on.
Bertindak dan bergerak jauh lebih baik daripada
menunggu. Sehingga keputusan ini yang saya lakukan untuk tetap berangkat ke
Jepang walaupun baru fix 1 laboratorium.
***
Remote
Sensing Laboratory
Hangat,
kesan pertama kali yang saya terima saat tiba di laboratorium ini. Sangat welcome dan penuh nuansa kekeluargaan.
Kumpulan mahasiswa yang terdiri dari berbagai negara: Indonesia, Jepang, Korea
Selatan, Malaysia dan Mongolia, berbaur menjadi satu dalam sebuah ruang kerja
yang kami sebut sebagai laboratorium. Tidak ada pembatas generasi S1, S2 atau
S3. Semua bersama-sama belajar, tidak ada batas senioritas. Bersatu bersama,
layaknya keluarga.
Banyak hal baru
yang saya peroleh disini, semua mahasiswa bekerja dengan sangat giat,
memberikan energi positif untuk kita terus belajar dan berjuang.
Mengikuti
berbagai kegiatan seminar manjadi bonus tersendiri bagi saya. Melihat
perkembangan terknologi radar dan satelit yang selama ini hanya saya pelajari
melalui aplikasi remote sensing saja. Namun disini, saya melihat orang-orang yang
berjuang dan membuat sesuatu hal yang baru.
Belajar ilmu baru,
berdiskusi dengan pembimbing dan teman-teman di laboratorium. Untuk kali
pertama bagi saya, belajar dan berkegiatan dari pagi hingga pagi lagi, ya hanya
disini, di Jepang.
Welcome Dinner with Professor Josaphat and
Laboratory-mate from South Korea at Nishi Chiba – Japan
Credit: Media sosial Josaphat Sensei
***
Biotechnology
Laboratory
Disamping
penelitian di Remote Sensing Laboratory,
saya terus berusaha untuk mendapatkan laboratorium lain yang dibutuhkan.
Berdiskusi dengan pembimbing (dari remote
sensing laboratory) dan senpai
untuk mencari cara agar bisa melakukan analisis di biotechnology laboratory. Setelah menghubungi langsung profesor
terkait biotechnology melalui email
dan telepon namun tidak ada jawaban karena berbagai hal. Kemudian pilihan
terbaik adalah mengunjungi beliau langsung di laboratorium atau ruang kerjanya.
Waktu dan moment
yang tepat, Profesor yang saya tuju berada di ruangan dan sangat welcome sekali ketika kedatangan
mahasiswa lain yang ingin melakukan analisis disini. Setelah berdiskusi cukup
panjang, sang profesor memberikan saya jadwal untuk mempresentasikan penelitian
saya di hadapannya. Setelah waktu yang ditentukan tiba, saya mengunjungi beliau
untuk melakukan diskusi bersama. Beliau cukup tertarik dan meminta saya untuk hadir kembali
dalam rangka presentasi di depan para dosen dan seluruh mahasiswanya.
Presentation and discussion with Sensei and all of students at Biotechnology Laboratory
Chiba University - Japan
Credit: Siti Aisyah
Setelah tahap
presentasi dan diskusi selesai, kami membuat jadwal penelitian yang akan saya
lakukan untuk analisis disini. Pendamping penelitian saya adalah mahasiswa S3
dari China, tipe mahasiswa yang benar-benar visioner, darinya saya belajar
manajemen waktu yang berbeda bahkan cara kerja yang tersusun rapi. Analisis
yang akan saya gunakan bukanlah hal yang sederhana dan membutuhkan bahan-bahan yang
tidak biasa. Sehingga tahap perencanaan
dan persiapan prosedur haruslah tepat.
Alat-alat di
laboratorium tentunya memiliki kualitas yang tinggi dari segi teknologi dan
kecanggihan. Semua alat yang dibutuhkan sudah tersedia disini. Setiap peneliti
pun memiliki posisi meja kerjanya masing-masing . Semua alat-alat tersimpan
rapi pada tempatnya. Pun bagi setiap pengguna, jika selesai menggunakan alat
tertentu harus menyimpan kembali pada tempat sebelumnya. Sama halnya dengan
kebersihan dan keamanan laboratorium yang tentunya harus dijaga dengan sangat
baik terutama kotak sampah yang berbeda untuk setiap jenis seperti tissue,
plastik, tube bekas analisis dan glove yang terkena bahan kimia berbahaya
harus dibuang secara terpisah.
Disiplin,
produktif dan cara manajemen waktu sebagai bekal pengalaman yang saya dapatkan disini selain ilmu dan pengetahuan.
Rekaman
perjalanan selama experimen di Biotechnology
Laboratory tertulis dalam buku “Research Lab Notebook by Siti Aisyah”.
Research Lab Notebook
Credit: Siti Aisyah
***
Radiocarbon
Dating Laboratory
Untuk memperoleh
laboratorium yang satu ini tidaklah mudah, total sekitar 6 laboratorium yang
saya jamah hanya untuk mencari analisis ini. Kali pertama yang saya tanya dan
tuju adalah salah satu institusi dan laboratorium di Indonesia. Namun sayang,
butuh waktu dan prosedur yang sangat panjang dan lama untuk bisa melakukan
analisis disini. Langkah berikutnya, ketika masih di Indonesia saya coba
mendapatkan informasi mengenai uji radiocarbon dating di salah satu Universitas
di Jepang, tepatnya di Okinawa, dan sekali lagi, hasil tidak sesuai harapan.
Langkah ketiga, karena
saya berkesempatan penelitian di Chiba University Jepang, maka saya coba gunakan
kesempatan ini untuk mengunjungi salah satu laboratorium di Chiba University terkait analisis ini.
setelah mengunjungi laboratorium yang saya tuju, ternyata hanya tertera untuk
uji carbon yang berbeda bukan Radiocarbon Dating.
Langkah
berikutnya, saya coba berkomunikasi dengan universitas terdekat dari Chiba,
yaitu Tokyo Institute of Technology
karena tertera departemen nuklir disana. Setelah berkomunikasi hampir 3 hari,
ternyata uji analisis radiocarbon dating tidak terdapat di universitas ini.
Perjuangan belum
berakhir, selama masih ada kesempatan, saya gunakan setiap detik waktu luang
untuk terus berusaha.
Saya searching kembali di internet mengenai
analisis radiocarbon dating di Jepang, dan memang hanya ada di beberapa lokasi
saja, seperti Nagoya, Fukushima, Osaka dan Tokyo (The University of Tokyo). Saya coba menghubungi melalui email
Nagoya dan The University of Tokyo.
Bersyukur, usaha
kali ini memberikan hasil yang baik, The
University of Tokyo memberikan jawaban sesuai harapan. Di sana terdapat
analisis yang saya butuhkan. Kemudian, saya berkomunikasi dengan profesor yang
bersangkutan dan bertanya berbagai hal.
Salah satunya
mengenai research money, karena hal
ini cukup krusial mengingat uji analisis ini bukanlah pengujian yang simple dan
sederhana, sehingga membutuhkan biaya penelitian yang cukup besar untuk setiap
sample. Ternyata dugaan saya benar, analisis membutuhkan dana sebesar 50.000 JPY persample,
belum termasuk pre treatment 50.000 JPY juga persampel.
Kembali berpikir,
untuk memperoleh laboratorium ini saja tidaklah mudah, dan saya tidak boleh
berhenti dan menyerah di persimpangan jalan. Maka, langkah untuk menjumpai dan berdiskusi secara
langsung dengan profesor di The
University of Tokyo merupakan jalan yang terbaik saat itu. Setelah membuat
janji untuk berjumpa dan berdiskusi, saya bertekad untuk berangkat dari Chiba
menuju Tokyo hanya bermodal peta di atas kertas. Pada hari yang ditentukan, saya dapat bertemu dan bermusyawarah dengan profesor di The University of Tokyo, di akhir percakapan beliau meminta saya datang kembali untuk mempresentasikan
penelitian saya bersama mahasiswa dan para koleganya, serta bonus undangan
makan siang.
Pertemuan
tersebut memberikan kesepakatan berupa kolaborasi penelitian dengan beberapa
kesepakatan yang kami buat. Tentunya keringanan biaya penelitian untuk uji
analisis ini.
“karena hasil tidak akan pernah mengkhianati
prosesnya”.
Research Collaboration with The University of Tokyo - Japan
Credit: Siti Aisyah
***
Disini saya
belajar satu hal, bahwa “ilmu tidak memiliki batasan, bahkan terus
berkembang”.
Konsentrasi
belajar saya dibidang perikanan dan kelautan tapi dari titik inilah saya
memperoleh banyak hal. Perkembangan keilmuan melalui kolaborasi perikanan
dengan Remote sensing, Biotechnology dan
Nuklir.
Tidak hanya pengetahuan yang bisa kita peroleh
tapi juga pengalaman, seperti: cara kerja, manajemen waktu, produktivitas, pola
pikir, inisiatif untuk bergerak maju dan yang terpenting adalah dituntut untuk
belajar berkomunikasi serta membuat kesepatakan dengan banyak orang dari
berbagai negara (ini merupakan jawaban atas pertanyaan: “haruskan ke luar
negeri untuk belajar? Tidakkah cukup jika di Tanah Air saja?”. Kerap kali
kita berpikir bahwa ilmu memang bisa diperoleh di mana saja, apalagi akses
internet untuk belajar bisa diperoleh dimanapun, namun poin pengalamanlah yang
membedakan diantara keduanya. Yang tentunya, semua pengalaman positif itu berusaha kita
realisasikan saat kembali ke Tanah Air. *Hijrah! Kalau kata guru besar
Tjokroaminoto).
Terima kasih atas kesempatan besar ini ya Allah,
terima kasih atas dukungan yang sangat luar biasa dari orang tua (Pandeglang dan Semarang) serta suami
tercinta.
Terima kasih banyak atas bimbingan dan
dukungannya, kepada:
Ibu Dr. Ir. Delianis Pringgenies, M.Sc.,
Universitas Diponegoro – Indonesia
Bpk. Prof. Dr. Ir. Agus Hartoko, M.Sc.,
Universitas Diponegoro – Indonesia
Bpk. Prof. Josaphat Tetuko S. S., P.hD.,
Josaphat Microwave Remote Sensing, Chiba University – Japan
Bpk. Daisuke Umeno, P.hD., Biotechnology
Laboratory, Chiba University – Japan
Bpk. Prof. Hiroyuki Matsuzaki, P.hD., The
University of Tokyo - Japan
Salam,
Siti Aisyah
Pandeglang - Banten
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment