Pageviews

Popular Posts

About

Search Me

Sunday 7 December 2014
Indonesia di “elu-elu”-kan sebagai negara komsumtif tertinggi dan menjadikan masyarakatnya ketergantungan akan sesuatu. Ya, tidak dipungkiri, hal itupun yang saya alami. Salah satunya “candu” terhadap perkembangan teknologi yang membuat masyarakat negeri ini “latah” untuk mengikuti trend teknologi terkini. Ketergantungan di jaman modern yang katanya serba enak, apalagi jika tinggal di kota besar, aksesnya mudah sekali dijangkau. Misalnya transportasi, setiap warga nusantara dari golongan menengah pun sudah bisa menikmati transportasi pribadi.

Nah, saya garis bawahi transportasi pribadi yang menjadikan mobilisasi lebih mudah, manusia jauh lebih produkif –seharusnya- karena kemanapun bisa langsung naik motor atau mobil, dan kemudian, tadaaa.. sampai di tempat tujuan. Cepat dan efisien.

Pernah lihat acara televisi atau koran bahkan artikel media online yang menginformasikan tentang negara maju dengan budaya atau tradisi warganya berjalan kaki? Pasti pernah dong ya, dengan smartphone di tangan setiap harinya, pastinya akses informasi jauh lebih cepat ketimbang info melalui berita televisi dan koran hehee.  Contoh negara maju dengan tradisi warga pejalan kaki yaitu Jepang. Pemerintahnya memberikan ruang dan akses bagi masyarakat untuk berjalan kaki. Tapi disini saya ngga akan panjang lebar bahas tentang Jepang dan tradisinya. Saya lebih tertarik bahas tentang negeri sendiri. I love Indonesia. Harus :)

Ada pengalaman yang mungkin unik yang ingin saya bagi disini. Unik bagi saya, belum tentu bagi orang lain. Relatif bahasa kerennya.

*****
Berawal dari masyarakat modern, tidak terelakan saya pun terlena dengan segala kemudahan akses saat ini. Bahkan saat saya masih kanak-kanak jika tersedia fasilitas transportasi pribadi akan membuat saya dan siapapun terbiasa dengan kemudahan dan kenyamanan akses. Misalnya, ke sekolah di antar jemput, ke tempat A, B, C dan D jauh lebih mudah lalu lama kelamaan merasa keenakan. Sampai akhirnya saat dianggap usia “dewasa”, ngga bisa apa-apa, jangankan bawa roda empat, motor aja ngga berani. Manja maksudnya? Mungkin iya. Tapi udah pernah belajar, cuma ngga berani keluar.

Sadar banget jadi manusia itu harus mandiri. Mandirinya mulai dari diri sendiri, setidaknya mulai membiasakan diri pake transportasi publik. Dipaksa untuk bisa lebih tepatnya. Kalau ngga salah dimulai dari kelas 2 menengah pertama. Diajarin rutenya naik angkot biar bisa sampai sekolah, diajarin caranya menjaga diri di angkutan umum, katanya “kalau kosong jangan naik”, dikasih tau ongkosnya berapa dan lain-lain.

Sampai lulus SMA, akhirnya berhasil “mandiri”. Ke sekolah sendiri naik angkot dan saat itu ga pernah kenal dengan istilah main (main di sini maksudnya jalan-jalan sama teman sepulang sekolah bawa motor/mobil sendiri, misalnya). Alhasil, karena jarang main, yang saya tahu hanya rumah, sekolah, tempat kursus/bimbel. Cuma itu. Ngga pengen tau dan ngga tertarik untuk belajar dan bawa kendaraan sendiri. Main ada waktunya, tentu di hari libur, bersama teman atau keluarga.

Yap, kesempatan masa–masa sekolah sudah lewat, masih nyaman dan ngga mempermasalahkan dengan namanya “ga bisa bawa kendaraan”. Masuk ke dunia baru, rutinitas baru, kegiatan dan hal baru di sekolah tinggi. Tapi sekali lagi, masih belum menemukan permasalahan mengenai transportasi. Karena saat dibangku sekolah tinggi, strata satu, dengan kehidupan dan tradisi ber”koloni”, bareng-bareng kemanapun, yang menyebabkan rasa nyaman-nyaman aja. Ke kampus ngangkot bareng-bareng, trip yang lebih jauh, ada teman yang bisa diajak bareng-bareng pula. Mobilisasi dan kegiatan pun masih sekitaran kampus dan mudah sekali dijangkau. Intinya, tahapan satu ini terlewati, masih belum sadar pentingnya bisa bawa kendaraan. Tapi sudah mulai mau belajar.

Pakai toga di usia 21 tahun, artinya step yang lain sudah dilewati, lalu berubah menjadi seorang guru muda dengan lokasi tempat kerja dan rumah hanya berjarak puluhan meter saja. Jalan kakipun sampai, kurang lebih seperti jarak 2-3 gerbongnya kereta api. Dekat sekali bukan?

Melewati usia 23 tahun sudah dilatih dan membiasakan diri untuk menggunakan transportasi publik, dari angkutan kota alias angkot, ojek, becak, bus, busway, kereta dan pesawat. Udah berani sendiri keliling sekitar Banten, ke Jakarta sendiri pakai bus dan busway, ke Bandara sendiri tanpa diantar dan tanpa taksi hanya bermodal bus dan shuttle bandara, ke Bandung, Bogor, Jawa Tengah bahkan Jawa Timur. Sendiri.

Banyak cerita, banyak pengalaman. Misalnya, kisah dalam angkot, saat itu di bangku SMA pernah punya cerita berteman dengan siswa sekolah lain yang hampir setiap pagi naik angkot yang sama, orangnya lucu dan tampan. Kenalannya di angkot, kece kan?!! Haha, don’t try this at home. Ya iyalah. hahaa.

Kisah lainnya dalam bus malam, pasti ada aja cerita dengan kenalan sebangku di perjalanan bus malam. Cerita apapun itu, bahkan kenalan baru tersebut sampai curhat dan buat saya ga tidur semalaman cuma buat jadi pendengar yang baik.

Kalau di becak lain lagi, biasanya si abang becak suka ngajak ngobrol, curhat juga ujung-ujungnya, kayanya tampang saya ini persis dokter terapi yang suka mendengarkan keluhan pasiennya. Dicurhatin di mana-mana.

Kisah di pesawat lain lagi, lebih tepatnya di bandara. Entah ada magnet apa, yang selalu mengantarkan saya dapat rejeki di bandara, beberapa kali. Tapi yang satu ini harus hati-hati ya, biasanya saya ga mudah percaya sama orang baru, intinya, kalau hati saya bilang dia baik, ya udah, percaya gitu aja. Hati sih yang bicara, jadi sulit dijelaskan. Sama seperti ditanya”kok mau sih nikah sama dia? Nah, lho, hati kan yang memilih” kaya begitulah kiranya.

Tapi yang lebih miris itu kalau di busway, saya pernah keterima kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, selama naik busway, agak suliti buat sosialisasi dengan sekitar. Semuanya nunduk, khusyu, fokus dengan layarnya masing-masing. Itu sih pengalaman saya, pasti setiap orang berbeda-beda.

Sampai akhirnya, saya kembali menginjakan kaki di bangku sekolah lagi, sekolah strata dua buat dapetin ilmu dan pengalaman, bukan hanya sekedar gelar. Lagi nyiapin mental buat ngurus sesuatu hal yang lebih besar nantinya. Nah, disinilah saya merasa harus berubah. Saya harus bisa segalanya, saya harus aktif, saya harus bisa bawa motor, saya harus bisa bawa mobil, saya harus terbiasa naik transpotasi publik, saya ga boleh ketergantungan, saya ga boleh manja.

dan
Saya suka jalan kaki.

Itu poinnya…

Di sekolah saya yang sekarang dan hampir memasuki tingkat akhir membuat saya harus mandiri, ga ada lagi istilah ber”koloni”. Apapun harus dilakukan sendiri, dengan kebiasaan untuk berkegiatan produktif membuat saya harus survive. Kalau mau ini itu harus sendiri, akhirnya terbiasa kemanapun naik transportasi publik, terbiasa kemanapun berjalan kaki. Bisa kuat berjalan sampai 5 km. Sendiri. 

Tapi banyak yang ngga percaya. Ya iyalah, saya aja ngga percaya kalau hobi saya sekarang berjalan kaki. Ayah saya yang melatih ini. Ya, Ayah saya.

Badan saya kecil, lebih tepatnya kurus, tetangga di lingkungan saya pun ga percaya kalau saya merantau hingga Semarang dan berani kemana-mana sendiri. Saya yang dikenal manja, kurus, bahkan mungkin lemah bisa melakukan apapun sendiri. Walaupun daya dukung tubuh tidak sebanding dengan banyaknya kegiatan, tapi hal ini yang justru membuat saya ga pernah mau terlihat lemah. Ya kuncinya jaga kesehatan, kalau udah tahu lemah, maka perkuat kelemahan itu. Salah satunya dengan berolahraga, walaupun ga rutin, setidaknya "kebiasaan" berjalan kaki buat badan jadi berasa enak, udah jarang yang namanya kena flu atau batuk. Ada kecualinya ya, kalau Allah berkehendak. Tapi selama ada ikhtiar inshaAllah sehat hehee.

Jalan kaki dari kosan hingga kampus yang jaraknya sekitar 2 km, tergantung rute yang diambil sih. Mau kemanapun selama –bagi saya- jaraknya dekat, maka saya akan berjalan, dengan kaki.

Kebiasaan jalan kaki ini membuat saya terbiasa berjalan cepat. Cepat menurut saya. Dan sudah pernah berjanji untuk tidak pernah mengeluh lagi dengan urusan transportasi, baik publik maupun pribadi. Ada waktunya saya bisa bawa kendaraan sendiri. insyaAllah ada.

Buat teman-teman yang sama-sama pengguna jalan PUBLIK, yuk saling berbagi. Saya selalu terharu dan senang saat ada pengguna jalan yang bijak saat dia membawa kendaraannya dengan mempersilahkan pejalan kaki untuk menyebrang atau tidak menggunakan klakson dengan keras saat pejalan kaki mungkin menghalangi jalan anda. Sama-sama saling memberikan ruang. Jika ingin dihormati, maka hormati orang lain. Ilmu timbal balik masih ingat kan ya. 

Cukup sekian, catatan terpanjang saya untuk blog kali ini 
Semarang, 7 Desember 2014
Siti Aisyah

0 comments:

Powered by Blogger.