Pageviews

Popular Posts

About

Search Me

Sunday 14 February 2016
30 Agustus 2015, pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip diantara sebuah kalimat paling sakral dalam suatu moment pernikahan. 

Ya, sebuah moment ijab qabul yang diucapkan oleh calon suami saya. Moment dimana seorang wanita pun merasakan perasaan berdebar yang teramat sangat disaat detik-detik ijab qabul hendak terucap.

Perasaan lega terhempas saat para saksi berucap kata ‘sah’ secara serentak. Alhamdulillah…


Rasanya saat itu yang terngiang hanyalah lagu “Barakallahu lakuma” milik Maher Zain sebagai soundtrack yang mengantarkan perjalanan saya dari tempat persembunyian pengantin wanita ke hadapan suami saya, yang menantikan genggaman tangan saat halal tersemat untuk kami berdua.

Aisyah dan Tri Cahyo, 30 Agustus 2015

Kami merupakan pasangan suami istri yang menikah bukan karena pacaran bertahun-tahun, kami hanyalah pasangan yang saling mengenal karena seorang perantara. Kami bukanlah teman sekampus, bukan teman sekantor, bukan teman sesama komunitas, bukan pula teman ketemu di jalan.

Saya sempat berpikir bahwa diperkenalkan oleh seseorang bukanlah bagian dari pilihan saya dalam menentukan pasangan. Awalnya saya lebih memilih untuk berjumpa dengan sendirinya siapa pasangan yang tepat untuk saya nantinya. Ternyata saya keliru, dan amat benar adanya bahwa jodoh ditangan Allah, jika Allah menghendaki pertemuan jodoh kita melalui perantara makhluk-Nya, mungkin disinilah jalannya. Sebuah skenario yang Tuhan persiapkan untuk umatnya dengan berbagai cara yang tak pernah kita sangka. Manusia hanya bisa berupaya dengan berusaha dan berdoa. Sekuat apapun upaya kita berusaha mencari sendiri jodoh tersebut, jika jodoh itu datang dari sisi teman terdekat, siapa yang dapat mengira? :)

Pertemuan kami cukup singkat, hanya butuh waktu 4 bulan setelah berkenalan menuju fase lamaran. Ketika kesiapan sudah di depan mata, apalagi yang kita harapkan kalau bukan sebuah kepastian? Kesiapan yang dimaksud pun bukan dalam bentuk sebuah materi melainkan kesiapan hati terhadap keseriusan suatu hubungan. Kami memiliki pemikiran yang sama untuk berjalan menuju ke jenjang pernikahan.

Percayalah, jika kita meminta langsung pada Sang Pemilik Hati untuk menetapkan pilihan kita ke arah yang lebih serius dan sakral. Tak akan pernah ada alasan “mengapa”.

Karena pernikahan pada hakikatnya merupakan suatu ibadah dan sunah, walaupun level ilmu saya masih rendah. Namun sebuah prinsip yang mengantarkan saya hingga ke fase ini.

Aisyah, 30 Agustus 2015

***
Saya memiliki sebuah pemikiran yang lain, yang lagi-lagi terpatahkan. Saya pernah beranggapan bahwa untuk mendapatkan sebuah dukungan dari pasangan terhadap apapun yang kita cita-cita kan, kita harus memilih pasangan yang memiliki orientasi yang sama, sehingga kita bisa sama-sama menempuh sebuah jalan yang sama pula. Saya berpikir, jika ingin mendapatkan sebuah dukungan terhadap passion saya di bidang akademisi, maka saya harus mencari pasangan yang memiliki orientasi yang sama, di bidang akademisi pula. Pemikiran ini muncul karena sebuah pengalaman tentunya.

Namun, pemikiran di atas bukanlah satu-satunya pilihan yang mutlak. Sampai saya berjumpa dengan sosok pria yang satu ini, sosok seorang suami yang tidak memiliki kesamaan passion dengan saya. Namun dukungan tersebut saya dapatkan secara penuh.

Kami merupakan dua orang yang berbeda baik secara karakter, kegemaran dan passion kerja masa depan. Tapi siapa sangka perbedaan tersebut ternyata bisa menjadi suatu pelengkap diantara kami berdua. Perbedaan pula yang menjadikan kami merasa serupa.

Suami saya dikaruniai otak kanan yang dominan, sedangkan saya sebaliknya, otak kiri saya berperan penuh terhadap kinerja saya dalam keseharian. Saya bersyukur, kami berdua dikaruniai oleh Tuhan untuk saling mendukung dan memahami satu sama lain.

Passion saya dibidang akademik, suka belajar dan mengajar. Tapi sebaliknya, suami saya tidak terlalu betah belajar di kelas, dia tipe orang yang kreatif, bukan tipe yang terpaku ke dalam sebuah aturan akademik. Namun satu hal yang saya syukuri, dia menghargai kegemaran saya, dia mengerti bahwa akademisi bagian dari diri saya. Dia mendukung sepenuhnya apapun yang saya inginkan untuk mengembangkan karir saya di bidang akademisi.

Ridho-nya yang saya harapkan dan saya syukuri di saat kami harus melakukan hubungan pernikahan jarak jauh antara Semarang dan Jepang dikarenakan saya harus menempuh perjalanan belajar hingga ke Negeri Sakura. Atau bahkan perjalanan belajar yang harus meninggalkan kota Semarang berkali-kali. Namun, dibalik itu semua, sekembalinya kami untuk berjumpa, menyimpan banyak rindu yang kami rasakan seperti awal jumpa, seperti pasangan yang baru pertama kali kenal namun ber-sertifikat halal yang bebas mengekspresikan rindu kami dengan sebuah kecupan kening yang diberikan. Indah bukan yang namanya pacaran setelah menikah? Hihihi.

Aisyah dan Tri Cahyo at Studio Foto


***
Usia kami terpaut 7 tahun, saya menikah di usia 24 tahun dengan seorang pria kelahiran 1984. Darinya saya menemukan figur pria dewasa yang mengayomi, penuh kasih sayang sebagai pria yang terlahir sebagai anak terakhir dari sebuah keluarga, dan berjumpa dengan seorang putri pertama yang terlahir dengan tanggung jawab yang besar sebagai seorang kakak. Saling melengkapi dari berbagai macam sifat dan sikap atas kekurangan yang kami miliki.

***
Random-nya sebuah percakapan yang kami lakukan membuat waktu terasa cepat berlalu, hingga membuat tatapan mata dunia nyata jauh lebih berharga daripada dunia maya. Itulah sebabnya sampai detik ini, jarang sekali bagi saya dan suami untuk menunjukan pada dunia mengenai cerita cinta kami. Cinta kami tak terhalang oleh henpon.

***
Suami saya terlahir dengan jiwa seni yang tinggi, besar dalam balutan sebuah kelompok band lokal sebagai seorang vokalis yang pandai memetik gitar. Namun saya sebaliknya, tak ada satu pun alat musik yang dapat saya mainkan, peran saya sebagai penikmat musik dengan mendengarkan suami bersenandung dan bernyanyi dengan gitar andalannya adalah hobi baru yang menyenangkan bagi saya.

Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon Semarang


Kegemaran lainnya yang dimiliki suami saya adalah kelihaian membidik sebuah kamera sebagai photographer dan dilengkapi oleh hobi saya sebagai seorang “model amatir” membuat kami membuktikan bahwa untuk bersama tidak harus sama. Hobi bisa saja berbeda, tapi dukungan untuk saling berkembang adalah yang utama.

Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon, Semarang


“Manusia selamanya tidak akan sempurna, kemunculan cinta yang berasal dari hati yang dapat memberikan kesempurnaan.” _Aisyah_

Semarang, 12 Februari 2016
Siti Aisyah dan Tri Cahyo
Powered by Blogger.