Pageviews
Popular Posts
-
Saya Siti Aisyah yang ketika lahir hingga masuk sekolah dasar dengan nama di Akta Kelahiran hanya 1 kata yaitu “Aisyah”. Nama te...
-
Senja hari menjelang matahari kembali pada peraduannya, saya duduk di sebuah kursi taman. Rindangnya pepohonan membuat sejuk kota dengan...
-
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan da...
-
Produktif, ga mau diem, pecicilan atau apapun itu istilahnya untuk menggambarkan kalau saya ga bisa berdiam diri di kosan, hingga liburan s...
-
Manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang menentukan. Sepandai-pandainya manusia membuat rencana, rencana Allah jauh lebih indah. Re...
-
30 Agustus 2015, pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip diantara sebuah kalimat paling sak...
-
Lanjutan part 1 ... Setalah pilihan ditentukan, kini saatnya bagi saya untuk fokus menggapai impian. Semua akan tercapai jika kita mampu...
-
Entah kenapa tiba-tiba terbesit di masa depan nanti, jika kelak memiliki putra/putri ingin menjadi seorang " Full-Time Mother ...
-
Merangkai serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna. Bukanlah sebuah perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perju...
-
Sepertinya hampir semua orang tau dimana dan apa itu kampung inggris. Suatu daerah yang menjadi tujuan manusia dengan berbagai profesi dan...
About
About Me
Search Me
Sunday, 7 December 2014
Indonesia di “elu-elu”-kan sebagai negara
komsumtif tertinggi dan menjadikan masyarakatnya ketergantungan akan sesuatu.
Ya, tidak dipungkiri, hal itupun yang saya alami. Salah satunya “candu”
terhadap perkembangan teknologi yang membuat masyarakat negeri ini “latah”
untuk mengikuti trend teknologi terkini. Ketergantungan di
jaman modern yang katanya serba enak, apalagi jika tinggal di
kota besar, aksesnya mudah sekali dijangkau. Misalnya transportasi, setiap
warga nusantara dari golongan menengah pun sudah bisa menikmati transportasi
pribadi.
Nah, saya garis bawahi transportasi
pribadi yang menjadikan mobilisasi lebih mudah, manusia jauh lebih
produkif –seharusnya- karena kemanapun bisa langsung naik motor atau mobil, dan
kemudian, tadaaa.. sampai di tempat tujuan. Cepat dan efisien.
Pernah lihat acara televisi atau koran bahkan
artikel media online yang menginformasikan tentang negara maju dengan budaya
atau tradisi warganya berjalan kaki? Pasti pernah dong ya, dengan smartphone di
tangan setiap harinya, pastinya akses informasi jauh lebih cepat ketimbang info
melalui berita televisi dan koran hehee. Contoh negara maju dengan
tradisi warga pejalan kaki yaitu Jepang. Pemerintahnya memberikan ruang dan
akses bagi masyarakat untuk berjalan kaki. Tapi disini saya ngga akan
panjang lebar bahas tentang Jepang dan tradisinya. Saya lebih tertarik bahas
tentang negeri sendiri. I love Indonesia. Harus :)
Ada pengalaman yang mungkin unik
yang ingin saya bagi disini. Unik bagi saya, belum tentu bagi orang lain.
Relatif bahasa kerennya.
*****
Berawal dari masyarakat modern, tidak terelakan saya pun
terlena dengan segala kemudahan akses saat ini. Bahkan saat saya masih
kanak-kanak jika tersedia fasilitas transportasi pribadi akan membuat saya dan
siapapun terbiasa dengan kemudahan dan kenyamanan akses. Misalnya, ke sekolah
di antar jemput, ke tempat A, B, C dan D jauh lebih mudah lalu lama kelamaan
merasa keenakan. Sampai akhirnya saat dianggap usia “dewasa”, ngga bisa
apa-apa, jangankan bawa roda empat, motor aja ngga berani.
Manja maksudnya? Mungkin iya. Tapi udah pernah belajar, cuma ngga berani
keluar.
Sadar banget jadi manusia itu harus mandiri.
Mandirinya mulai dari diri sendiri, setidaknya mulai membiasakan diri pake transportasi
publik. Dipaksa untuk bisa lebih tepatnya. Kalau ngga salah
dimulai dari kelas 2 menengah pertama. Diajarin rutenya naik angkot biar bisa
sampai sekolah, diajarin caranya menjaga diri di angkutan umum, katanya “kalau
kosong jangan naik”, dikasih tau ongkosnya berapa dan lain-lain.
Sampai lulus SMA, akhirnya berhasil
“mandiri”. Ke sekolah sendiri naik angkot dan saat itu ga pernah kenal dengan
istilah main (main di sini maksudnya jalan-jalan sama teman sepulang
sekolah bawa motor/mobil sendiri, misalnya). Alhasil, karena jarang main, yang saya tahu hanya
rumah, sekolah, tempat kursus/bimbel. Cuma itu. Ngga pengen
tau dan ngga tertarik untuk belajar dan bawa kendaraan sendiri. Main ada
waktunya, tentu di hari libur, bersama teman atau keluarga.
Yap, kesempatan masa–masa sekolah sudah lewat,
masih nyaman dan ngga mempermasalahkan dengan namanya “ga bisa
bawa kendaraan”. Masuk ke dunia baru, rutinitas baru, kegiatan dan hal baru di
sekolah tinggi. Tapi sekali lagi, masih belum menemukan permasalahan mengenai
transportasi. Karena saat dibangku sekolah tinggi, strata satu, dengan kehidupan
dan tradisi ber”koloni”, bareng-bareng kemanapun, yang menyebabkan rasa
nyaman-nyaman aja. Ke kampus ngangkot bareng-bareng, trip yang lebih jauh, ada
teman yang bisa diajak bareng-bareng pula. Mobilisasi dan kegiatan pun masih
sekitaran kampus dan mudah sekali dijangkau. Intinya, tahapan satu ini
terlewati, masih belum sadar pentingnya bisa bawa kendaraan. Tapi sudah mulai
mau belajar.
Pakai toga di usia 21 tahun, artinya step yang
lain sudah dilewati, lalu berubah menjadi seorang guru muda dengan lokasi
tempat kerja dan rumah hanya berjarak puluhan meter saja. Jalan kakipun sampai,
kurang lebih seperti jarak 2-3 gerbongnya kereta api. Dekat sekali bukan?
Melewati usia 23 tahun sudah dilatih dan membiasakan diri untuk menggunakan transportasi publik, dari angkutan kota alias angkot,
ojek, becak, bus, busway, kereta dan pesawat. Udah berani sendiri keliling
sekitar Banten, ke Jakarta sendiri pakai bus dan busway, ke Bandara sendiri
tanpa diantar dan tanpa taksi hanya bermodal bus dan shuttle bandara, ke
Bandung, Bogor, Jawa Tengah bahkan Jawa Timur. Sendiri.
Banyak
cerita, banyak pengalaman. Misalnya, kisah dalam angkot, saat itu di bangku SMA
pernah punya cerita berteman dengan siswa sekolah lain yang hampir setiap pagi
naik angkot yang sama, orangnya lucu dan tampan. Kenalannya di angkot, kece kan?!! Haha,
don’t try this at home. Ya iyalah. hahaa.
Kisah lainnya dalam bus malam, pasti ada aja
cerita dengan kenalan sebangku di perjalanan bus malam. Cerita apapun itu, bahkan kenalan baru tersebut sampai curhat dan buat saya ga tidur semalaman cuma buat jadi pendengar yang
baik.
Kalau di becak lain lagi, biasanya si abang becak suka
ngajak ngobrol, curhat juga ujung-ujungnya, kayanya tampang saya ini persis
dokter terapi yang suka mendengarkan keluhan pasiennya. Dicurhatin di
mana-mana.
Kisah di pesawat lain lagi, lebih tepatnya di
bandara. Entah ada magnet apa, yang selalu mengantarkan saya dapat rejeki di
bandara, beberapa kali. Tapi yang satu ini harus hati-hati ya, biasanya saya ga
mudah percaya sama orang baru, intinya, kalau hati saya bilang dia baik, ya
udah, percaya gitu aja. Hati sih yang bicara, jadi sulit dijelaskan. Sama
seperti ditanya”kok mau sih nikah sama dia? Nah, lho, hati kan yang memilih”
kaya begitulah kiranya.
Tapi yang lebih miris itu kalau di busway, saya
pernah keterima kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, selama naik busway, agak
suliti buat sosialisasi dengan sekitar. Semuanya nunduk, khusyu, fokus dengan
layarnya masing-masing. Itu sih pengalaman saya, pasti setiap orang
berbeda-beda.
Sampai
akhirnya, saya kembali menginjakan kaki di bangku sekolah lagi, sekolah strata
dua buat dapetin ilmu dan pengalaman, bukan hanya sekedar gelar. Lagi nyiapin
mental buat ngurus sesuatu hal yang lebih besar nantinya. Nah, disinilah saya
merasa harus berubah. Saya harus bisa segalanya, saya harus aktif, saya harus
bisa bawa motor, saya harus bisa bawa mobil, saya harus terbiasa naik
transpotasi publik, saya ga boleh ketergantungan, saya ga boleh manja.
dan
Saya suka jalan kaki.
Itu poinnya…
Di sekolah saya yang sekarang dan hampir
memasuki tingkat akhir membuat saya harus mandiri, ga ada lagi istilah
ber”koloni”. Apapun harus dilakukan sendiri, dengan kebiasaan untuk berkegiatan
produktif membuat saya harus survive. Kalau mau ini itu harus
sendiri, akhirnya terbiasa kemanapun naik transportasi publik, terbiasa
kemanapun berjalan kaki. Bisa kuat berjalan sampai 5 km. Sendiri.
Tapi banyak yang ngga percaya.
Ya iyalah, saya aja ngga percaya kalau hobi saya sekarang
berjalan kaki. Ayah saya yang melatih ini. Ya, Ayah saya.
Badan saya kecil, lebih tepatnya kurus, tetangga
di lingkungan saya pun ga percaya kalau saya merantau hingga Semarang dan
berani kemana-mana sendiri. Saya yang dikenal manja, kurus, bahkan mungkin
lemah bisa melakukan apapun sendiri. Walaupun daya dukung tubuh tidak sebanding
dengan banyaknya kegiatan, tapi hal ini yang justru membuat saya ga pernah mau
terlihat lemah. Ya kuncinya jaga kesehatan, kalau udah tahu lemah, maka perkuat
kelemahan itu. Salah satunya dengan berolahraga, walaupun ga rutin, setidaknya
"kebiasaan" berjalan kaki buat badan jadi berasa enak, udah jarang
yang namanya kena flu atau batuk. Ada kecualinya ya, kalau Allah
berkehendak. Tapi selama ada ikhtiar inshaAllah sehat hehee.
Jalan kaki dari kosan hingga kampus yang
jaraknya sekitar 2 km, tergantung rute yang diambil sih. Mau kemanapun selama
–bagi saya- jaraknya dekat, maka saya akan berjalan, dengan kaki.
Kebiasaan jalan kaki ini membuat saya terbiasa
berjalan cepat. Cepat menurut saya. Dan sudah pernah berjanji untuk tidak
pernah mengeluh lagi dengan urusan transportasi, baik publik maupun pribadi.
Ada waktunya saya bisa bawa kendaraan sendiri. insyaAllah ada.
Buat teman-teman yang sama-sama pengguna jalan PUBLIK,
yuk saling berbagi. Saya selalu terharu dan senang saat ada pengguna jalan yang
bijak saat dia membawa kendaraannya dengan mempersilahkan pejalan kaki untuk
menyebrang atau tidak menggunakan klakson dengan keras saat pejalan kaki mungkin menghalangi
jalan anda. Sama-sama saling memberikan ruang. Jika ingin dihormati, maka
hormati orang lain. Ilmu timbal balik masih ingat kan ya.
Cukup sekian, catatan terpanjang saya untuk blog
kali ini
Semarang, 7 Desember 2014
Siti Aisyah
Monday, 29 September 2014
Produktif, ga mau diem, pecicilan
atau apapun itu istilahnya untuk menggambarkan kalau saya ga bisa berdiam diri
di kosan, hingga liburan semesterpun saya isi dengan suatu kegiatan yang cukup
berpengaruh dalam tabungan pengalaman saya di kehidupan ini.
Beberapa hari menjelang liburan, saya
mulai mencari kegiatan apa yang bisa saya lakukan nanti. Saya sering mendengar
istilah Kelas Inspirasi karena dalam timeline
media sosial banyak yang menyinggung mengenai hal tersebut. Namun saat itu,
Kelas Inspirasi belum diadakan di Semarang.
Siapa yang menyangka kalau
saya berjodoh dengan kegiatan keren yang satu ini, disaat lagi kepo untuk mencari kegiatan, ternyata
Kelas Inspirasi diadakan di Semarang untuk pertama kalinya. Setelah mencari
informasi mengenai Kelas Inspirasi Semarang kemudian saya mendaftarkan diri
untuk bergabung menjadi relawan panitia Kelas Inspirasi Semarang.
Banyak hal luar biasa yang saya
dapatkan di sini, saya benar-benar memetik pelajaran yang belum pernah saya
dapatkan sebelumnya. Setiap pertemuan, bahasan, sistem koordinasi, ketegasan,
kerjasama dan kedisiplinan saya dapatkan dalam kepanitiaan ini. Panitia Kelas
Inspirasi Semarang yang akhirnya menjadi keluarga baru bagi saya.
Panitia dan relawan Kelas Inspirasi Semarang 1
Panitia Kelas Inspirasi Semarang 1
Satu hal yang saya ingat dan
berusaha saya praktikan dalam kehidupan ini adalah ketegasan. Ketegasan yang
dimiliki oleh setiap personil yang ada di Kelas Inspirasi Semarang. Poin
penting yang membuat mental luar biasa bagi setiap orang.
Dalam setiap pertemuan selalu
diiringi dengan bahasan yang bermanfaat, fokus yang ringan, membuat panitia
mengerti apa yang harus dikerjakan tapi juga tetap rileks dengan candaan yang
terngiang hingga sekarang. Koordinasi yang luar biasa dari setiap panitia yang
membuat group Whatsapp ga pernah ada
matinya kecuali baterai handphone saya yang mati hahaha.
Rapat bersama panitia Kelas Inspirasi Semarang 1
Kopdar-nya divisi recruitment
Kopdar-nya divisi acara
Kopdar divisi acara
Sosialisasi Kelas Inspirasi Semarang1
Tidak benar rasanya jika yang kami
jalani selalu mulus tanpa hambatan, hambatan yang diubah jadi tantangan membuat
saya belajar arti problem solving yang
sebenarnya. Saya menganggap mereka luar biasa karena banyak hal baru yang saya
pelajari disini.
*****
Dalam perjalanan Kelas Inspirasi
ini, saya pun dipertemukan dengan orang-orang yang istimewa, yaitu para relawan
pengajar, relawan photographer dan videographer. Bagaimana bisa mereka yang
seharusnya menginspirasi anak-anak Indonesia tapi dalam prosesnya ketika kami
bersama, saya yang terinspirasi dari setiap apapun yang mereka ucapkan dan
lakukan. Kemudian saya tersadar bahwa saya pun termasuk anak Indonesia hahaha.
Saya mengenal Mba Lestari yang
selalu menginspirasi dan mensupport saya untuk selalu menulis, karena Mba
Lestari adalah blogger sejati yang dikelilingi oleh kawan-kawan penulis yang
sudah melahirkan banyak buku. Dari mba Lestari saya belajar untuk menjadi seorang
penulis, kata mba Lestari “tulis apapun
yang ingin ditulis, random pun tidak menjadi masalah, ikuti kalau ada
kompetisi, nulis itu bikin ketagihan”. Luar biasa!!!
Berikutnya mba Fajar yang selalu
berkontribusi untuk pendidikan negeri dengan mengikuti Kelas Inspirasi sampai 6
kali di berbagai kota di Indonesia. Saya teringat kutipan Kelas Inspirasi
Semarang saat hari refleksi “Pendidikan
Indonesia bukan hanya tanggung jawab tenaga pendidik melainkan tanggung jawab
setiap orang yang terdidik” lalu sedikit kutipan janji kemerdekaan dalam
UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Kedua kutipan tersebut telah direalisasikan oleh Mba Fajar walaupun profesinya
bukan sebagai guru, tapi jiwanya terpanggil untuk berkontribusi bagi negeri.
Saya salut dan terinspirasi untuk memberikan yang terbaik untuk negeri kita,
Indonesia.
Ada Mba Indri dan Mba Dian Nafi yang
berasal dari luar kota Semarang dan merelakan waktu serta tenaganya untuk
pulang pergi Semarang demi menginspirasi anak-anak Indonesia. Lalu mba Lulu
sang dokter cantik yang menyisihkan satu harinya untuk menjelaskan profesinya
secara detail kepada anak-anak dengan mengenalkan beberapa alat-alat
kedokteran. Saya jadi teringat ketika masih Sekolah Dasar yang hanya memimpikan
untuk mengenal alat-alat tersebut. Kemudian Mba Dala sang master chefnya Kelas
Inspirasi karena profesinya sebagai owner
sebuah resto yang telah menginspirasi melalui pengalamannya untuk menjadi
seorang entrepreneur sejati. Mas Imam sebagai penyiar radio yang sangat baik
dalam berkomunikasi. Kemudian Mba Putri sebagai seorang banker yang senantiasa
teliti dalam hal akuntansi, lalu mas Tito dan Mba Lusia Tri yang siap cuti
sehari untuk menginspirasi, serta Pak Ady sebagai pensiunan yang masih semangat
berkontribusi terhadap pendidikan Indonesia.
Relawan pengajar dan fasilitator kelompok 4
Disini saya tersadar bahwa mimpi dan cita-cita tidak
memiliki batasan, setiap orang bebas dan berani bermimpi untuk menjadi apapun
yang mereka inginkan, selama impian itu menjadikan kita semakin maju dan mau
belajar.
Saya mengenal mas Choirul, mas
Husnil, mas Hanif, mba Vivi dan mas Arkham sebagai relawan fotografer dan
videographer di Kelas Inspirasi Semarang. Mereka menginspirasi saya mengenai
sebuah passion dan seni. Keahlian itu
bisa dipelajari, selama kita mau belajar, otak kanan pun bisa digunakan.
Saat hari inspirasi, banyak hal yang
membuat saya terinspirasi dari anak-anak Indonesia khususnya para siswa/i SD
Kusuma Bhakti. Mereka menginspirasi saya dalam hal ketekunan, kebahagiaan dan
perdamaian. Tekun belajar dengan fasilitas sederhana, bahagia dengan apapun
yang mereka kerjakan dan perbedaan diantara mereka membuat kita sadar bahwa
anak-anak Indonesia pun mampu merealisasikan bahwa damai itu indah.
Bersyukur dapat melalui hari-hari dengan banyak
hikmah yang bisa diambil dan dipraktikan. Seperti hari ini, saya menuliskan
apapun yang ingin saya tulis. Ini adalah poin pertama saya dalam merealisasikan
inspirasi dari para inspirator Kelas Inspirasi Semarang.
Selanjutnya, semoga saya bisa
semakin berkontribusi untuk negeri dengan merealisasikan segala inspirasi yang
mereka berikan.
Kutipan yang selalu kita dengar “kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan
sekarang, kapan lagi?”.
Semarang, 29 September 2014
Siti Aisyah.
Sumber foto: panitia dan relawan
kelas inspirasi Semarang
Tuesday, 24 June 2014
Komunitas Tangan Kedua. Suatu komunitas baru dibidang sosial yang mengajarkan aku banyak hal.
Aku mulai bergabung dengan Komunitas Tangan Kedua sekitar bulan Oktober 2013, saat itu keinginanku untuk berkegiatan sosial sangat kuat. Alasannya sih sederhana, aku ingin berkegiatan, tapi kegiatan yang baru, yang belum pernah aku ikuti, bukan seperti organisasi formal dalam kampus.
Di sini aku ingin bercerita mengenai perubahan yang aku rasakan setelah bergabung dengan komunitas ini. Aku merasa menjadi diri aku yang baru. Aku pikir, itu merupakan hal yang wajar, everyone has changed, included me.
Aku yakin setiap orang memiliki rasa simpati dan empati dalam diri mereka masing-masing. Tapi tidak semua orang berani menunjukan rasa kepeduliaannya itu. Seperti itulah aku yang dulu, memiliki rasa kepedulian yang kuat terhadap orang lain tapi sukar untuk mengekspresikannya, terutama dalam hal tindakan.
Kepedulian itu ternyata bisa kita pelajari, apalagi jika dasarnya kita memiliki hati nurani yang peduli terhadap sesama tapi tidak mengerti cara mengungkapkannya. Disini untuk yang pertama kalinya aku belajar, belajar melakukan kepeduliaan secara langsung kepada orang lain, belajar mencintai anak-anak dan belajar peka terhadap sesama.
Dulu aku merasa kaku jika melihat anak-anak, kecuali saudara dekat atau tetanggaku, itupun hanya sekedar say "hai". Kaku sekali bukan? Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupku, saat bermain bersama anak-anak panti dalam kegiatan Tangan Kedua, aku merasa bahagia, aku mampu mengekspresikan kepedulianku. Bersama Tangan Kedua aku bisa belajar berbagi dengan sesama dan melihat sekitar kita yang sebenarnya begitu banyak yang membutuhkan kepedulian kita, jika kita peka.
Aku mulai bergabung dengan Komunitas Tangan Kedua sekitar bulan Oktober 2013, saat itu keinginanku untuk berkegiatan sosial sangat kuat. Alasannya sih sederhana, aku ingin berkegiatan, tapi kegiatan yang baru, yang belum pernah aku ikuti, bukan seperti organisasi formal dalam kampus.
Di sini aku ingin bercerita mengenai perubahan yang aku rasakan setelah bergabung dengan komunitas ini. Aku merasa menjadi diri aku yang baru. Aku pikir, itu merupakan hal yang wajar, everyone has changed, included me.
Aku yakin setiap orang memiliki rasa simpati dan empati dalam diri mereka masing-masing. Tapi tidak semua orang berani menunjukan rasa kepeduliaannya itu. Seperti itulah aku yang dulu, memiliki rasa kepedulian yang kuat terhadap orang lain tapi sukar untuk mengekspresikannya, terutama dalam hal tindakan.
Kepedulian itu ternyata bisa kita pelajari, apalagi jika dasarnya kita memiliki hati nurani yang peduli terhadap sesama tapi tidak mengerti cara mengungkapkannya. Disini untuk yang pertama kalinya aku belajar, belajar melakukan kepeduliaan secara langsung kepada orang lain, belajar mencintai anak-anak dan belajar peka terhadap sesama.
Dulu aku merasa kaku jika melihat anak-anak, kecuali saudara dekat atau tetanggaku, itupun hanya sekedar say "hai". Kaku sekali bukan? Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupku, saat bermain bersama anak-anak panti dalam kegiatan Tangan Kedua, aku merasa bahagia, aku mampu mengekspresikan kepedulianku. Bersama Tangan Kedua aku bisa belajar berbagi dengan sesama dan melihat sekitar kita yang sebenarnya begitu banyak yang membutuhkan kepedulian kita, jika kita peka.
Ternyata beberapa kegiatan rutin yang dilakukan tersebut telah terekam dalam sistem sensorik dan motorik ku. Pernah beberapa kali melakukan kegiatan serupa namun di luar kegiatan komunitas. Belakangan ini aku lebih suka memilih berjalan kaki dari kosan menuju kampus yang jaraknya tidak dekat menurut orang lain. Suatu hari, dalam perjalanan pulang, aku melihat seorang kakek yang sudah lanjut usia sedang berjualan beberapa benda pembersih rumah, kakek tersebut sedang duduk istirahat dan melamun. Ya, sekali lagi, refleks kaki ini berhenti begitu saja dan membeli beberapa benda yang sebenarnya aku sendiri pun tidak tahu untuk apa, tapi pasti berguna. Aku membeli bukan karena bendanya, tapi mata kakek tersebut yang berbicara.
Kemudian, aku pergi menuju minimarket, setelah mengambil beberapa kebutuhanku, aku mengantri di depan kasir, tepat di depanku 3 orang anak kecil dengan rambut kemerah-merahan karena terkena sinar matahari, mereka membeli 3 es krim dan membayarnya dengan uang receh. Saat kasir memberitahukan harga seluruhnya, ternyata uang mereka tidak cukup, lalu salah satu diantaranya mengembalikan 1 es krim ke tempat semula, bagi mereka yang terpenting adalah 2 es krim untuk bersama. Mungkin, jika aku adalah aku yang dulu, bisa jadi aku hanya berempati pada mereka dengan hanya bergumam dalam hati "kasihan mereka..." tapi tidak dengan aku yang sekarang.
Peduli itu penting, lebih penting lagi jika kepedulian itu diungkapkan dengan tindakan. Hal yang sederhana seperti memberikan kursi pun bentuk kepedulian yang luar biasa bagi penerimanya dan kebahagiaan tersendiri bagi pemberinya.
Jika kita memiliki potensi, ada baiknya cari wadah untuk mengembangkan potensi tersebut. Gabunglah dengan komunitas apapun yang melakukan kegiatan positif dan rasakan perubahannya, perubahan yang lebih baik tentunya.
Disinilah aku belajar, bahwa pengalaman membawa aku pada pemahaman yang lebih baik..
Memahami akan cinta yang didasari rasa ikhlas akan membawa kita pada kebahagiaan...
Siti Aisyah
Semarang, 24 Juni 2014
Saturday, 21 June 2014
Udah lama rasanya ga ngeposting tulisan, kali ini lagi pengen nulis santai tanpa bahasa formal. Saking gregetnya pengen nulis, rasanya yang ada dipikiran saat ini pengen segera dituangkan dalam bentuk tulisan.
Tulisan ini berangkat dari beberapa kejadian, sering mendengar bahkan membaca status tentang pemikiran seseorang terkait "permintaan tolong orang lain". Misalnya, "Kalau tiba-tiba ngehubungi pasti ada maunya".
Sekarang gini deh, kita hidup di dunia ini ga sendiri, jelas kan? Lalu, kita hidup pun bermasyarakat. Sejak SD pelajaran moral sudah kita pelajari tentang hidup bergotong royong. Sederhanakan sebenernya?
Tapi permasalahannya, dia ga pernah nongol, tiba-tiba muncul minta tolong? Begitu kan?
~Hey, coba yuk berpikir positif, jangan pernah curiga dulu. Anggap kawan kita, saudara atau teman tersebut memang sedang bergelut dengan segala rutinitasnya seperti kita. Kita pun sama, sibuk, dengan segala yang ingin kita gapai.
Kemudian, saat dalam perjalanan hidupnya, orang tersebut mengalami kesulitan lalu teringat kamu untuk dimintain tolong, menurut saya itu anugerah. Gimana tidak? Dengan kesibukannya dia mengingat kita untuk dimintain tolong, berarti dia menyimpan nama dan mengingat wajah kita dalam benaknya. Itu yang pertama. Yang kedua, harusnya kita bangga saat dimintain tolong, kenapa? Karena saat dia meminta tolong kepada kita, itu artinya, dia menganggap kita mampu dalam bidang yang mungkin dia butuh bantuan kita, apapun itu, boleh jadi kemampuan kita, pengalaman ataupun materi. So, kenapa kita mesti curiga dan malas untuk menolong teman bahkan saudara kita yang butuh pertolongan?
Entahlah ya, bagi saya untuk berpikir positif itu mungkin butuh waktu, tapi saya pribadi ketika telah melakukan kebaikan, salah satunya meringankan beban orang lain, seperti mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa saya interpretasikan. Hanya saya dan Tuhan saya yang tau.
Lalu, jika teman kita setelah dibantu menghilang kembali, kenapa kita mesti repot? Ingat ini >> "Jika kita meringankan beban orang lain, maka Allah akan meringankan beban kita". Atau bisa jadi orang lain yang akan membantu kita disaat kita kesulitan, jadi kebaikan bisa datang melalui tangan siapa saja. Intinya TIMBAL BALIK ITU PASTI ADA, istilah lainnya "siapa yang menanam buah, pasti akan menuainya" percayalah..
Tapi, jika saat dimintain tolong kita tidak mampu untuk menolongnya, itu kan hak kita, ga harus dipaksakan. Kita bisa minta maaf, atau membantunya dengan cara yang lain. Clear kan?
Bukan maksud hati untuk menggurui, tapi saya ingin menularkan kepada teman-teman saya yang baik hatinya untuk berpikir positif tanpa harus curiga terlebih dahulu.
Kenapa demikian? saya selalu teringat film IN TIME dimana saya membayangkan hidup saya hanya 24 jam. Dalam 24 jam saya tidak melakukan suatu kebaikan apapun, lalu apa yang akan saya pertanggungjawabkan kelak? Saya punya ilmu, pengalaman, uang 100 rupiah dan kemampuan lainnya yang mungkin orang lain butuhkan. Tapi saya simpan rapat-rapat untuk apa? Lalu saya kembali kepada-Nya dan mengubur semua yang saya punya tanpa saya bagi? Naudzubillah, tuntun saya Tuhan untuk selalu bisa berbagi terhadap sesama...
Habluminallah, habluminanas...
Wallahua'lam, hanya beropini
Yuk, tabur kebaikan untuk sesama :)
Tulisan ini berangkat dari beberapa kejadian, sering mendengar bahkan membaca status tentang pemikiran seseorang terkait "permintaan tolong orang lain". Misalnya, "Kalau tiba-tiba ngehubungi pasti ada maunya".
Sekarang gini deh, kita hidup di dunia ini ga sendiri, jelas kan? Lalu, kita hidup pun bermasyarakat. Sejak SD pelajaran moral sudah kita pelajari tentang hidup bergotong royong. Sederhanakan sebenernya?
Tapi permasalahannya, dia ga pernah nongol, tiba-tiba muncul minta tolong? Begitu kan?
~Hey, coba yuk berpikir positif, jangan pernah curiga dulu. Anggap kawan kita, saudara atau teman tersebut memang sedang bergelut dengan segala rutinitasnya seperti kita. Kita pun sama, sibuk, dengan segala yang ingin kita gapai.
Kemudian, saat dalam perjalanan hidupnya, orang tersebut mengalami kesulitan lalu teringat kamu untuk dimintain tolong, menurut saya itu anugerah. Gimana tidak? Dengan kesibukannya dia mengingat kita untuk dimintain tolong, berarti dia menyimpan nama dan mengingat wajah kita dalam benaknya. Itu yang pertama. Yang kedua, harusnya kita bangga saat dimintain tolong, kenapa? Karena saat dia meminta tolong kepada kita, itu artinya, dia menganggap kita mampu dalam bidang yang mungkin dia butuh bantuan kita, apapun itu, boleh jadi kemampuan kita, pengalaman ataupun materi. So, kenapa kita mesti curiga dan malas untuk menolong teman bahkan saudara kita yang butuh pertolongan?
Entahlah ya, bagi saya untuk berpikir positif itu mungkin butuh waktu, tapi saya pribadi ketika telah melakukan kebaikan, salah satunya meringankan beban orang lain, seperti mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa saya interpretasikan. Hanya saya dan Tuhan saya yang tau.
Lalu, jika teman kita setelah dibantu menghilang kembali, kenapa kita mesti repot? Ingat ini >> "Jika kita meringankan beban orang lain, maka Allah akan meringankan beban kita". Atau bisa jadi orang lain yang akan membantu kita disaat kita kesulitan, jadi kebaikan bisa datang melalui tangan siapa saja. Intinya TIMBAL BALIK ITU PASTI ADA, istilah lainnya "siapa yang menanam buah, pasti akan menuainya" percayalah..
Tapi, jika saat dimintain tolong kita tidak mampu untuk menolongnya, itu kan hak kita, ga harus dipaksakan. Kita bisa minta maaf, atau membantunya dengan cara yang lain. Clear kan?
Bukan maksud hati untuk menggurui, tapi saya ingin menularkan kepada teman-teman saya yang baik hatinya untuk berpikir positif tanpa harus curiga terlebih dahulu.
Kenapa demikian? saya selalu teringat film IN TIME dimana saya membayangkan hidup saya hanya 24 jam. Dalam 24 jam saya tidak melakukan suatu kebaikan apapun, lalu apa yang akan saya pertanggungjawabkan kelak? Saya punya ilmu, pengalaman, uang 100 rupiah dan kemampuan lainnya yang mungkin orang lain butuhkan. Tapi saya simpan rapat-rapat untuk apa? Lalu saya kembali kepada-Nya dan mengubur semua yang saya punya tanpa saya bagi? Naudzubillah, tuntun saya Tuhan untuk selalu bisa berbagi terhadap sesama...
Habluminallah, habluminanas...
Wallahua'lam, hanya beropini
Yuk, tabur kebaikan untuk sesama :)
Monday, 6 January 2014
Manusia merupakan makhluk yang dinamis, setiap detiknya berubah, baik jumlah helai rambut ataupun diameter pori-pori kulitnya. Tak dapat dipungkiri perubahanpun terjadi pada pemikiran dan tingkah laku manusia itu sendiri. Saat bertekad untuk hijrah menjadi pribadi yang ingin memanfaatkan waktu dengan produktivitas positif, yang bertujuan meningkatkan kualitas diri, menambah pengalaman, memperluas jejaring sosial secara nyata dan tentunya pengetahuan baru dari berbagai disiplin ilmu. Maka, sejak saat itu juga diperlukan tindakan nyata untuk merealisasikan niat tersebut. Bismillah, karena Allah.
****
Prolog di atas saya buat sebagai pengantar untuk catatan saya kali ini. Rasanya tidak lengkap jika mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru namun tidak saya tuangkan dalam sebuah tulisan. Seperti tokoh kartun yang terbentur lalu bertebaran bintang-bintang di atas kepalanya. Begitupun dengan rekaman pengalaman kemarin yang masih tersimpan dalam memori ingatan layaknya bintang-bintang bertebaran di atas kepala dan harus segera dituangkan ke dalam mangkuk sereal, maksudnya catatan hehe.
Entah bagaimana mengawalinya, saya sering
memulai hal yang baru dengan cara “tidak sengaja”, saya percaya, hal itu
merupakan cara Allah menunjukkan jalan-Nya. Suatu hari, sedang menonton
televisi sendiri di ruang tv kosan, karena hampir setiap stasiun tv saat ini memberikan
materi tontonan yang tidak patut menjadi tuntunan atau bahkan tidak memberikan
edukasi yang positif, sehingga saya pilih untuk menonton stasiun tv yang menayangkan
news (berita), sebut saja MetroTV. Disamping menambah pengetahuan tentang kabar
terbaru dunia luar, namun juga me-recharge informasi Indonesia terkini, haha
begaya.
Saat itu acara yang sedang ditayangkan
adalah “Tea Time with Desi Anwar”. Tamu yang diundang bukanlah orang yang saya
kenal, namun siapa sangka hanya dengan tayangan 30 menit mampu memberikan
kekaguman saya atas segala prestasi yang diraihnya. Dialah Muhamad Iman Usman
pendiri Komunitas Indonesian Future Leaders (IFL) .
Indonesian Future Leaders (IFL) adalah
sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang pemberdayaan pemuda dan
isu-isu sosial terkait kepemudaan. Sedangkan Parlemen Muda Indonesia adalah
program yang digagas oleh Indonesian Future Leaders yang bertujuan untuk
memfasilitasi suara pemuda dalam proses pembentukan kebijakan serta mendorong
tingkat partisispasi politik dalam negeri.
Setelah melihat tayangan tv tersebut secara
otomatis saya mencari akun resmi IFL di twitter dan informasi lebih lanjut
tentang organisasi kepemudaan ini. Hingga akhirnya mendapatkan info mengenai
akun Parlemen Muda Banten di twitter (@youthbanten). Tidak lama sejak saya tahu
mengenai IFL dan Parlemen Muda, kemudian muncul info terkait programnya
Parlemen Muda Indonesia yaitu Konsultasi Regional di seluruh provinsi di
Indonesia, salah satunya Banten. Tanpa pikir panjang, saya langsung menghubungi
contact personnya dan daftar sebagai delegasi umum untuk kegiatan konsultasi
regional tersebut.
Konsultasi Regional merupakan rangkaian
dari kegiatan Parlemen Muda bertujuan untuk melibatkan anak muda untuk
memberikan konten substansif terhadap sistem parlemen dan kebijakan terkait di
politik dalam negeri. Hasil dari Konsultasi Regional akan disampaikan kepada
pemangku kebijakan di kegiatan Majelis Pemuda dan Konferensi Temu Pemimpin.
Topik yang dibahas dalam Konsultasi
Regional yaitu:
a.
Keberlanjutan
Lingkungan dan Ekologi
b.
Hak
dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi
c.
Pembangunan
dan Keadilan Sosial
d.
Anak
Muda dan Penggunaan Rokok, Miras, dan Zat Adiktif
e.
Pendidikan
dan Pemberdayaan Pemuda
f.
Topik
Pilihan (menyiapkan topik kepemudaan yang kami pikir ugent untuk dibahas)
Ada alasan menarik yang ingin saya sampaikan mengapa saya begitu antusias bergabung dalam kegiatan ini. Pertama, hampir 5 tahun terakhir saya tinggal di luar daerah dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Banyak sekali informasi yang tidak saya ketahui tentang Provinsi Banten, khususnya Kabupaten Pandeglang. Di luar sana banyak orang bertanya mengenai Banten dan Pandeglang. Entah saya yang krisis pengetahuan mengenai identitas Banten atau Banten yang belum memiliki identitas diri. Berdasarkan pengalaman saya selama di luar Banten, banyak sekali masyarakat yang belum tahu Banten, kalaupun tahu, mereka menyebutnya “oooh, Banten di Jawa Barat ya?”, tugas saya sebagai warga Banten untuk meluruskan ketika mendengar pertanyaan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa Banten adalah provinsi baru yang awalnya menyatu dengan Jawa Barat. Jadi masih banyak yang beranggapan bahwa Banten itu adalah Jawa Barat. Well, apapun itu penting rasanya bagi saya untuk mengetahui lebih banyak mengenai Banten saat berada di luar Banten, karena layaknya duta wisata ketika pergi meninggalkan daerah asal menuju daerah baru, tidak sedikit yang bertanya menganai daerah dimana tempat kita tinggal. Disaat itulah presentasi mengenai daerah tercinta dilakukan.
Alasan lainnya berangkat dari kesadaran
di dalam diri muncul begitu saja, rasa yang begitu besar untuk mengetahui lebih
banyak tentang Banten merupakan awal kepedulian terhadap daerah saya sendiri. Jika
ada yang bertanya mengenai kontribusi yang sudah diberikan terhadap Banten
sebagai pemuda Banten, rasanya pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan paling
“JLEB” sedunia. Pertanyaan tentang ke-jomblo-an bukanlah segalanya tapi tentang
kontribusi diri untuk negeri? Hemmmm, malu sekali diri ini yang belum bisa berbagi.
Kedua hal di atas mewakili alasan saya
mengapa mengikuti Konsultasi Regional Provinsi Banten dan ikut bergabung
bersama pemuda/i Banten yang sama-sama memiliki visi dan empati yang besar
untuk memajukan Banten. Melakukan pengembangan kapasitas diri sebagai pemuda,
karena sangat “lucu” jika sebagai pemuda banyak menuntut perubahan namun apatis
terhadap perubahan.
“Ceritakan,
maka aku akan lupa. Tunjukkan, mungkin aku akan ingat. Libatkan, maka aku pasti mengerti.”
-Parlemen Muda Indonesia-
Beberapa kegiatan sosial saya ikuti
sebagai langkah awal dalam perubahan diri. Saya pikir bahwa perubahan dan
konsistensi adalah 2 hal yang saling berdampingan, bukan berlawanan. Jika
memilih untuk berubah menjadi lebih baik, maka konsistenlah dalam pilihan
kebaikan itu. Tidak ada istilah konsisten dalam keburukan, yang ada hanyalah
belum menemukan jalan kembali untuk menjadi baik. Jika Allah sudah memberikan
Rahmat-Nya, pasti ada jalan dalam setiap pintu kebaikan.
Wallahua’lam.
Siti Aisyah, Pandeglang – 6 Januari 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)
Powered by Blogger.