Pageviews
Popular Posts
-
Saya Siti Aisyah yang ketika lahir hingga masuk sekolah dasar dengan nama di Akta Kelahiran hanya 1 kata yaitu “Aisyah”. Nama te...
-
Senja hari menjelang matahari kembali pada peraduannya, saya duduk di sebuah kursi taman. Rindangnya pepohonan membuat sejuk kota dengan...
-
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan da...
-
Produktif, ga mau diem, pecicilan atau apapun itu istilahnya untuk menggambarkan kalau saya ga bisa berdiam diri di kosan, hingga liburan s...
-
Manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang menentukan. Sepandai-pandainya manusia membuat rencana, rencana Allah jauh lebih indah. Re...
-
30 Agustus 2015, pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip diantara sebuah kalimat paling sak...
-
Lanjutan part 1 ... Setalah pilihan ditentukan, kini saatnya bagi saya untuk fokus menggapai impian. Semua akan tercapai jika kita mampu...
-
Entah kenapa tiba-tiba terbesit di masa depan nanti, jika kelak memiliki putra/putri ingin menjadi seorang " Full-Time Mother ...
-
Merangkai serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna. Bukanlah sebuah perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perju...
-
Sepertinya hampir semua orang tau dimana dan apa itu kampung inggris. Suatu daerah yang menjadi tujuan manusia dengan berbagai profesi dan...
About
Blog Archive
About Me
Search Me
Sunday, 14 February 2016
30 Agustus 2015,
pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip
diantara sebuah kalimat paling sakral dalam suatu moment pernikahan.
Ya, sebuah moment
ijab qabul yang diucapkan oleh calon suami saya. Moment dimana seorang wanita
pun merasakan perasaan berdebar yang teramat sangat disaat detik-detik ijab
qabul hendak terucap.
Perasaan lega
terhempas saat para saksi berucap kata ‘sah’ secara serentak. Alhamdulillah…
Rasanya saat itu
yang terngiang hanyalah lagu “Barakallahu
lakuma” milik Maher Zain sebagai soundtrack
yang mengantarkan perjalanan saya dari tempat persembunyian pengantin wanita ke
hadapan suami saya, yang menantikan genggaman tangan saat halal tersemat untuk kami berdua.
Aisyah dan Tri Cahyo, 30 Agustus 2015
Kami merupakan
pasangan suami istri yang menikah bukan karena pacaran bertahun-tahun, kami
hanyalah pasangan yang saling mengenal karena seorang perantara. Kami bukanlah
teman sekampus, bukan teman sekantor, bukan teman sesama komunitas, bukan pula teman
ketemu di jalan.
Saya sempat
berpikir bahwa diperkenalkan oleh seseorang
bukanlah bagian dari pilihan saya dalam menentukan pasangan. Awalnya saya lebih
memilih untuk berjumpa dengan sendirinya siapa pasangan yang tepat untuk saya
nantinya. Ternyata saya keliru, dan amat benar adanya bahwa jodoh ditangan Allah, jika Allah
menghendaki pertemuan jodoh kita melalui perantara makhluk-Nya, mungkin disinilah
jalannya. Sebuah skenario yang Tuhan persiapkan untuk umatnya dengan berbagai
cara yang tak pernah kita sangka. Manusia hanya bisa berupaya dengan berusaha
dan berdoa. Sekuat apapun upaya kita berusaha mencari sendiri jodoh tersebut,
jika jodoh itu datang dari sisi teman terdekat, siapa yang dapat mengira? :)
Pertemuan kami
cukup singkat, hanya butuh waktu 4 bulan setelah berkenalan menuju fase lamaran.
Ketika kesiapan sudah di depan mata, apalagi yang kita harapkan kalau bukan
sebuah kepastian? Kesiapan yang dimaksud pun bukan dalam bentuk sebuah materi
melainkan kesiapan hati terhadap keseriusan suatu hubungan. Kami memiliki pemikiran
yang sama untuk berjalan menuju ke jenjang pernikahan.
Percayalah, jika
kita meminta langsung pada Sang Pemilik Hati untuk menetapkan pilihan kita ke
arah yang lebih serius dan sakral. Tak akan pernah ada alasan “mengapa”.
Karena
pernikahan pada hakikatnya merupakan suatu ibadah dan sunah, walaupun level
ilmu saya masih rendah. Namun sebuah prinsip yang mengantarkan saya hingga ke
fase ini.
Aisyah, 30 Agustus 2015
***
Saya memiliki
sebuah pemikiran yang lain, yang lagi-lagi terpatahkan. Saya pernah beranggapan
bahwa untuk mendapatkan sebuah dukungan dari pasangan terhadap apapun yang kita
cita-cita kan, kita harus memilih pasangan yang memiliki orientasi yang sama,
sehingga kita bisa sama-sama menempuh sebuah jalan yang sama pula. Saya
berpikir, jika ingin mendapatkan sebuah dukungan terhadap passion saya di bidang akademisi, maka saya harus mencari pasangan
yang memiliki orientasi yang sama, di bidang akademisi pula. Pemikiran ini
muncul karena sebuah pengalaman tentunya.
Namun, pemikiran
di atas bukanlah satu-satunya pilihan yang mutlak. Sampai saya berjumpa dengan
sosok pria yang satu ini, sosok seorang suami yang tidak memiliki kesamaan passion dengan saya. Namun dukungan
tersebut saya dapatkan secara penuh.
Kami merupakan
dua orang yang berbeda baik secara karakter, kegemaran dan passion kerja masa depan. Tapi siapa sangka perbedaan tersebut
ternyata bisa menjadi suatu pelengkap diantara kami berdua. Perbedaan pula yang
menjadikan kami merasa serupa.
Suami saya
dikaruniai otak kanan yang dominan, sedangkan saya sebaliknya, otak kiri saya
berperan penuh terhadap kinerja saya dalam keseharian. Saya bersyukur, kami
berdua dikaruniai oleh Tuhan untuk saling mendukung dan memahami satu sama
lain.
Passion saya dibidang akademik, suka belajar dan
mengajar. Tapi sebaliknya, suami saya tidak terlalu betah belajar di kelas, dia
tipe orang yang kreatif, bukan tipe yang terpaku ke dalam sebuah aturan
akademik. Namun satu hal yang saya syukuri, dia menghargai kegemaran saya, dia
mengerti bahwa akademisi bagian dari diri saya. Dia mendukung sepenuhnya apapun
yang saya inginkan untuk mengembangkan karir saya di bidang akademisi.
Ridho-nya yang
saya harapkan dan saya syukuri di saat kami harus melakukan hubungan pernikahan
jarak jauh antara Semarang dan Jepang dikarenakan saya harus menempuh
perjalanan belajar hingga ke Negeri Sakura. Atau bahkan perjalanan belajar yang
harus meninggalkan kota Semarang berkali-kali. Namun, dibalik itu semua,
sekembalinya kami untuk berjumpa, menyimpan banyak rindu yang kami rasakan
seperti awal jumpa, seperti pasangan yang baru pertama kali kenal namun ber-sertifikat halal yang bebas
mengekspresikan rindu kami dengan sebuah kecupan kening yang diberikan. Indah
bukan yang namanya pacaran setelah
menikah? Hihihi.
Aisyah dan Tri Cahyo at Studio Foto
***
Usia kami
terpaut 7 tahun, saya menikah di usia 24 tahun dengan seorang pria kelahiran 1984.
Darinya saya menemukan figur pria dewasa yang mengayomi, penuh kasih sayang
sebagai pria yang terlahir sebagai anak terakhir dari sebuah keluarga, dan
berjumpa dengan seorang putri pertama yang terlahir dengan tanggung jawab yang
besar sebagai seorang kakak. Saling melengkapi dari berbagai macam sifat dan
sikap atas kekurangan yang kami miliki.
***
Random-nya sebuah percakapan yang kami lakukan
membuat waktu terasa cepat berlalu, hingga membuat tatapan mata dunia nyata
jauh lebih berharga daripada dunia maya. Itulah sebabnya sampai detik ini,
jarang sekali bagi saya dan suami untuk menunjukan pada dunia mengenai cerita
cinta kami. Cinta kami tak terhalang oleh henpon.
***
Suami saya
terlahir dengan jiwa seni yang tinggi, besar dalam balutan sebuah kelompok band
lokal sebagai seorang vokalis yang pandai memetik gitar. Namun saya sebaliknya,
tak ada satu pun alat musik yang dapat saya mainkan, peran saya sebagai
penikmat musik dengan mendengarkan suami bersenandung dan bernyanyi dengan
gitar andalannya adalah hobi baru yang menyenangkan bagi saya.
Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon Semarang
Kegemaran lainnya
yang dimiliki suami saya adalah kelihaian membidik sebuah kamera sebagai
photographer dan dilengkapi oleh hobi saya sebagai seorang “model amatir”
membuat kami membuktikan bahwa untuk
bersama tidak harus sama. Hobi bisa saja berbeda, tapi dukungan untuk
saling berkembang adalah yang utama.
Aisyah dan Tri Cahyo at Brown Canyon, Semarang
“Manusia selamanya tidak akan sempurna, kemunculan
cinta yang berasal dari hati yang dapat memberikan kesempurnaan.” _Aisyah_
Semarang, 12
Februari 2016
Siti Aisyah dan Tri Cahyo
Subscribe to:
Posts (Atom)
Powered by Blogger.