Pageviews
Popular Posts
-
Saya Siti Aisyah yang ketika lahir hingga masuk sekolah dasar dengan nama di Akta Kelahiran hanya 1 kata yaitu “Aisyah”. Nama te...
-
Senja hari menjelang matahari kembali pada peraduannya, saya duduk di sebuah kursi taman. Rindangnya pepohonan membuat sejuk kota dengan...
-
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan da...
-
Produktif, ga mau diem, pecicilan atau apapun itu istilahnya untuk menggambarkan kalau saya ga bisa berdiam diri di kosan, hingga liburan s...
-
Manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang menentukan. Sepandai-pandainya manusia membuat rencana, rencana Allah jauh lebih indah. Re...
-
30 Agustus 2015, pukul 09.00 pagi Waktu Indonesia bagian Pandeglang, terdengar nama saya berada terselip diantara sebuah kalimat paling sak...
-
Lanjutan part 1 ... Setalah pilihan ditentukan, kini saatnya bagi saya untuk fokus menggapai impian. Semua akan tercapai jika kita mampu...
-
Entah kenapa tiba-tiba terbesit di masa depan nanti, jika kelak memiliki putra/putri ingin menjadi seorang " Full-Time Mother ...
-
Merangkai serpihan mimpi untuk menjadikan impian yang sempurna. Bukanlah sebuah perjuangan yang sia-sia tak kala setiap puing-puing perju...
-
Sepertinya hampir semua orang tau dimana dan apa itu kampung inggris. Suatu daerah yang menjadi tujuan manusia dengan berbagai profesi dan...
About
Blog Archive
About Me
Search Me
Sunday, 7 December 2014
Indonesia di “elu-elu”-kan sebagai negara
komsumtif tertinggi dan menjadikan masyarakatnya ketergantungan akan sesuatu.
Ya, tidak dipungkiri, hal itupun yang saya alami. Salah satunya “candu”
terhadap perkembangan teknologi yang membuat masyarakat negeri ini “latah”
untuk mengikuti trend teknologi terkini. Ketergantungan di
jaman modern yang katanya serba enak, apalagi jika tinggal di
kota besar, aksesnya mudah sekali dijangkau. Misalnya transportasi, setiap
warga nusantara dari golongan menengah pun sudah bisa menikmati transportasi
pribadi.
Nah, saya garis bawahi transportasi
pribadi yang menjadikan mobilisasi lebih mudah, manusia jauh lebih
produkif –seharusnya- karena kemanapun bisa langsung naik motor atau mobil, dan
kemudian, tadaaa.. sampai di tempat tujuan. Cepat dan efisien.
Pernah lihat acara televisi atau koran bahkan
artikel media online yang menginformasikan tentang negara maju dengan budaya
atau tradisi warganya berjalan kaki? Pasti pernah dong ya, dengan smartphone di
tangan setiap harinya, pastinya akses informasi jauh lebih cepat ketimbang info
melalui berita televisi dan koran hehee. Contoh negara maju dengan
tradisi warga pejalan kaki yaitu Jepang. Pemerintahnya memberikan ruang dan
akses bagi masyarakat untuk berjalan kaki. Tapi disini saya ngga akan
panjang lebar bahas tentang Jepang dan tradisinya. Saya lebih tertarik bahas
tentang negeri sendiri. I love Indonesia. Harus :)
Ada pengalaman yang mungkin unik
yang ingin saya bagi disini. Unik bagi saya, belum tentu bagi orang lain.
Relatif bahasa kerennya.
*****
Berawal dari masyarakat modern, tidak terelakan saya pun
terlena dengan segala kemudahan akses saat ini. Bahkan saat saya masih
kanak-kanak jika tersedia fasilitas transportasi pribadi akan membuat saya dan
siapapun terbiasa dengan kemudahan dan kenyamanan akses. Misalnya, ke sekolah
di antar jemput, ke tempat A, B, C dan D jauh lebih mudah lalu lama kelamaan
merasa keenakan. Sampai akhirnya saat dianggap usia “dewasa”, ngga bisa
apa-apa, jangankan bawa roda empat, motor aja ngga berani.
Manja maksudnya? Mungkin iya. Tapi udah pernah belajar, cuma ngga berani
keluar.
Sadar banget jadi manusia itu harus mandiri.
Mandirinya mulai dari diri sendiri, setidaknya mulai membiasakan diri pake transportasi
publik. Dipaksa untuk bisa lebih tepatnya. Kalau ngga salah
dimulai dari kelas 2 menengah pertama. Diajarin rutenya naik angkot biar bisa
sampai sekolah, diajarin caranya menjaga diri di angkutan umum, katanya “kalau
kosong jangan naik”, dikasih tau ongkosnya berapa dan lain-lain.
Sampai lulus SMA, akhirnya berhasil
“mandiri”. Ke sekolah sendiri naik angkot dan saat itu ga pernah kenal dengan
istilah main (main di sini maksudnya jalan-jalan sama teman sepulang
sekolah bawa motor/mobil sendiri, misalnya). Alhasil, karena jarang main, yang saya tahu hanya
rumah, sekolah, tempat kursus/bimbel. Cuma itu. Ngga pengen
tau dan ngga tertarik untuk belajar dan bawa kendaraan sendiri. Main ada
waktunya, tentu di hari libur, bersama teman atau keluarga.
Yap, kesempatan masa–masa sekolah sudah lewat,
masih nyaman dan ngga mempermasalahkan dengan namanya “ga bisa
bawa kendaraan”. Masuk ke dunia baru, rutinitas baru, kegiatan dan hal baru di
sekolah tinggi. Tapi sekali lagi, masih belum menemukan permasalahan mengenai
transportasi. Karena saat dibangku sekolah tinggi, strata satu, dengan kehidupan
dan tradisi ber”koloni”, bareng-bareng kemanapun, yang menyebabkan rasa
nyaman-nyaman aja. Ke kampus ngangkot bareng-bareng, trip yang lebih jauh, ada
teman yang bisa diajak bareng-bareng pula. Mobilisasi dan kegiatan pun masih
sekitaran kampus dan mudah sekali dijangkau. Intinya, tahapan satu ini
terlewati, masih belum sadar pentingnya bisa bawa kendaraan. Tapi sudah mulai
mau belajar.
Pakai toga di usia 21 tahun, artinya step yang
lain sudah dilewati, lalu berubah menjadi seorang guru muda dengan lokasi
tempat kerja dan rumah hanya berjarak puluhan meter saja. Jalan kakipun sampai,
kurang lebih seperti jarak 2-3 gerbongnya kereta api. Dekat sekali bukan?
Melewati usia 23 tahun sudah dilatih dan membiasakan diri untuk menggunakan transportasi publik, dari angkutan kota alias angkot,
ojek, becak, bus, busway, kereta dan pesawat. Udah berani sendiri keliling
sekitar Banten, ke Jakarta sendiri pakai bus dan busway, ke Bandara sendiri
tanpa diantar dan tanpa taksi hanya bermodal bus dan shuttle bandara, ke
Bandung, Bogor, Jawa Tengah bahkan Jawa Timur. Sendiri.
Banyak
cerita, banyak pengalaman. Misalnya, kisah dalam angkot, saat itu di bangku SMA
pernah punya cerita berteman dengan siswa sekolah lain yang hampir setiap pagi
naik angkot yang sama, orangnya lucu dan tampan. Kenalannya di angkot, kece kan?!! Haha,
don’t try this at home. Ya iyalah. hahaa.
Kisah lainnya dalam bus malam, pasti ada aja
cerita dengan kenalan sebangku di perjalanan bus malam. Cerita apapun itu, bahkan kenalan baru tersebut sampai curhat dan buat saya ga tidur semalaman cuma buat jadi pendengar yang
baik.
Kalau di becak lain lagi, biasanya si abang becak suka
ngajak ngobrol, curhat juga ujung-ujungnya, kayanya tampang saya ini persis
dokter terapi yang suka mendengarkan keluhan pasiennya. Dicurhatin di
mana-mana.
Kisah di pesawat lain lagi, lebih tepatnya di
bandara. Entah ada magnet apa, yang selalu mengantarkan saya dapat rejeki di
bandara, beberapa kali. Tapi yang satu ini harus hati-hati ya, biasanya saya ga
mudah percaya sama orang baru, intinya, kalau hati saya bilang dia baik, ya
udah, percaya gitu aja. Hati sih yang bicara, jadi sulit dijelaskan. Sama
seperti ditanya”kok mau sih nikah sama dia? Nah, lho, hati kan yang memilih”
kaya begitulah kiranya.
Tapi yang lebih miris itu kalau di busway, saya
pernah keterima kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, selama naik busway, agak
suliti buat sosialisasi dengan sekitar. Semuanya nunduk, khusyu, fokus dengan
layarnya masing-masing. Itu sih pengalaman saya, pasti setiap orang
berbeda-beda.
Sampai
akhirnya, saya kembali menginjakan kaki di bangku sekolah lagi, sekolah strata
dua buat dapetin ilmu dan pengalaman, bukan hanya sekedar gelar. Lagi nyiapin
mental buat ngurus sesuatu hal yang lebih besar nantinya. Nah, disinilah saya
merasa harus berubah. Saya harus bisa segalanya, saya harus aktif, saya harus
bisa bawa motor, saya harus bisa bawa mobil, saya harus terbiasa naik
transpotasi publik, saya ga boleh ketergantungan, saya ga boleh manja.
dan
Saya suka jalan kaki.
Itu poinnya…
Di sekolah saya yang sekarang dan hampir
memasuki tingkat akhir membuat saya harus mandiri, ga ada lagi istilah
ber”koloni”. Apapun harus dilakukan sendiri, dengan kebiasaan untuk berkegiatan
produktif membuat saya harus survive. Kalau mau ini itu harus
sendiri, akhirnya terbiasa kemanapun naik transportasi publik, terbiasa
kemanapun berjalan kaki. Bisa kuat berjalan sampai 5 km. Sendiri.
Tapi banyak yang ngga percaya.
Ya iyalah, saya aja ngga percaya kalau hobi saya sekarang
berjalan kaki. Ayah saya yang melatih ini. Ya, Ayah saya.
Badan saya kecil, lebih tepatnya kurus, tetangga
di lingkungan saya pun ga percaya kalau saya merantau hingga Semarang dan
berani kemana-mana sendiri. Saya yang dikenal manja, kurus, bahkan mungkin
lemah bisa melakukan apapun sendiri. Walaupun daya dukung tubuh tidak sebanding
dengan banyaknya kegiatan, tapi hal ini yang justru membuat saya ga pernah mau
terlihat lemah. Ya kuncinya jaga kesehatan, kalau udah tahu lemah, maka perkuat
kelemahan itu. Salah satunya dengan berolahraga, walaupun ga rutin, setidaknya
"kebiasaan" berjalan kaki buat badan jadi berasa enak, udah jarang
yang namanya kena flu atau batuk. Ada kecualinya ya, kalau Allah
berkehendak. Tapi selama ada ikhtiar inshaAllah sehat hehee.
Jalan kaki dari kosan hingga kampus yang
jaraknya sekitar 2 km, tergantung rute yang diambil sih. Mau kemanapun selama
–bagi saya- jaraknya dekat, maka saya akan berjalan, dengan kaki.
Kebiasaan jalan kaki ini membuat saya terbiasa
berjalan cepat. Cepat menurut saya. Dan sudah pernah berjanji untuk tidak
pernah mengeluh lagi dengan urusan transportasi, baik publik maupun pribadi.
Ada waktunya saya bisa bawa kendaraan sendiri. insyaAllah ada.
Buat teman-teman yang sama-sama pengguna jalan PUBLIK,
yuk saling berbagi. Saya selalu terharu dan senang saat ada pengguna jalan yang
bijak saat dia membawa kendaraannya dengan mempersilahkan pejalan kaki untuk
menyebrang atau tidak menggunakan klakson dengan keras saat pejalan kaki mungkin menghalangi
jalan anda. Sama-sama saling memberikan ruang. Jika ingin dihormati, maka
hormati orang lain. Ilmu timbal balik masih ingat kan ya.
Cukup sekian, catatan terpanjang saya untuk blog
kali ini
Semarang, 7 Desember 2014
Siti Aisyah
Subscribe to:
Posts (Atom)
Powered by Blogger.